Bekerja dan Bermain Sebuah Komposisi Ideal – Bertemu sebuah artikel menarik di Internet. Tentang hasil penelitian dari Human Capital Management Watson Wyat. Demi keuntungannya sendiri, sebaiknya perusahaan yang terbiasa ‘ strich to the limit’ sebaiknya lebih ramah terhadap karyawannya. Misalnya dengan membuka akses terhadap situs-situs jaringan sosial yang saat ini sudah membludak di internet.
Menurut mereka ketimbang capek memasang barikade dan karyawan juga capek ngedumel dari belakang, lebih baik memanfaatkan fasilitas jaringan seperti Facebook, Instagram, Twitter, Titok an Whattsup sebaik-baiknya. Jadikan platform tersebut sebagai alat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, komunikasi internal yang lebih rapi dan membangun employee engagement.
Bekerja dan Bermain Adalah Komposisi Sempurna Dalam Menghadapi Dunia yang Berubah
Soalnya karakteristik workforce saat ini sudah berubah. Dulu orang memasuki dunia kerja berbekal safe player mindset, kalau perlu mencari kemah perlindungan untuk seumur sumur hidup . Itu bisa mereka temukan kalau menjadi pegawai negeri, karyawan BUMN atau perusahaan-perusahan yang menawarkan long life employment.
Tapi anak-anak yang lahir pada 1980-an ke atas yang kerap disebut Generasi Y, Lalu sekarang muncul pula Generasi Z (edit: 21 November 2021) punya pertimbangan lain. Bukannya memimpikan jadi “karyawan abadi” di satu kantor, mereka justru lebih suka berpindah-pindah, memburu gaji dan perkembangan karir yang lebih menjanjikan. Apa yang mereka bayangkan tentang “kompensasi” dan “benefit” pun tidak sama lagi dengan generasi terdahulu.
Disamping itu mereka juga mendambakan work/life balance yang lebih besar. Kesibukan kerja jangan sampai menghilangkan kesempatan untuk bergaul. Pokonya kerja dan gaul harus seperti anak kembar, beriring sejalan.
Baca juga:
Ketika Baby Bommer Mencoba Memahami Cara Berpikir Generasi Y dan Generasi Z
Menurut Rumputeki yang masih muda itu di blognya, bahkan ada angkatan kerja ber- tipe yang tidak terlalu memikirkan gaji (artinya: gaji nggak perlu tinggi-tinggi amat, tapi tetap harus cukup tinggi ), yang penting fasilitas internet melimpah ruah dan tak terbatas, bisa browsing seharian, chatting, update Instagram, dan ngotak-atik Facebook sampai bosan.
Kalau betul penelitian Watson Wyatt ini sahih, sepertinya dunia sedang bergerak kearah yang belum saya saya mengerti. Pola waktu belum berubah . Dalam hitungan 24 jam sehari, hanya 8 jam di alokasikan untuk dunia kantor atau kerja. Dan itupun perlu disisihkan 1 jam untuk makan siang.
Sulit membayangkan bagaimana seorang karyawan bisa menyelesaikan pekerjaa dengan baik dan benar bila mereka sibuk berbalas email, ng-blog, asik edit foto untuk Instagram, atau sibuk menyalurkan bakat rewel melalui chatting di WhatsApp atau Twitter.
Kegiatan menggauili jaringan mesia sosial menuntut porsi perhatian. Yang mau tidak mau harus disuplai oleh energy yang sama. Energy yang menjadi hak perusahaan karena telah membayarnya dengan gaji dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan setiap bulan.
Belum lagi waktu yang dipakai untuk small talk dengan rekan sejawat, membereskan diri ke toilet, menerima WA dan menjawabnya. Lah kapan muncul jiwa kreatifitas itu akan masuk ke pekerjaan yang sesungguhnya?
Tapi seharusnya ada waktu bekerja dan bermain dalam komposisi ideal !
Setelah Bekerja Ada Waktu Untuk Bermain
Tapi mempertahankan karyawan juga perlu. Sekalipun ( di Indonesia ), usia angkatan kerja berlimpah ruah sehingga perlu di eksport menjadi TKI ke negara orang, menemukan karyawan yang tepat untuk sebuah posisi yang tepat tidak semudah buang ludah. Butuh biaya tambahan disamping capek juga tiap kali merekrut orang.
Untuk memenuhi rasa ingin tahu lalu saya gooling apa itu Employee engagement, jawabannya : Employee engagement is a concept that is generally viewed as managing discretionary effort, that is, when employees have choices, they will act in a way that furthers their organization’s interests. An engaged employee is a person who is fully involved in, and enthusiastic about, his or her work.
Saya termasuk yang percaya bahwa kemerdekaan dan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang kita sukai cenderung akan membuat orang bahagia. Dan manusia yang berbahagia biasanya lebih kreatif. Kreatifitas adalah tools untuk berkembang.
Ada waktunya untuk bekerja dan ada waktu pula untuk bermain sosial media. Nah sekarang tinggal bagaimana perusahaan membuka semua aksesnya terhadap semua platform media sosial, lalu memanfaatkan untuk kepentingan perusahaan.
Apa lagi di tahun 2021, saat saya update blog pos ini, internet sudah murah dan mudah diakses dari mana saja lewat gadget pinter bernama ponsel. Kuota jadi kebutuhan setelah makan dan minum. Ajang pergaulan meningkat dari teman, ke kenalan lalu followers. Adalah mustahil membatasi aktivitas karyawan di sana.
Bila konsep Employee engagement ini diterapkan untuk memberi akses ke setiap karyawan untuk terlibat di jaringan social internet, bagaimana perusahaan membaliknya jadi keuntungan. Bagaimana membuat atmosfir di perusahan bahwa bekerja dan bermain jadi kompoisisi ideal. Nah di sana tantangannya.
Di bawah kolong langit tidak ada yang abadi. Yang abadi hanya perubahan itu sendiri. Mereka yang gagal move on akan tergilas roda zaman
Wassalam,
— Evi