Kamu pernah punya pengalaman jadi debt collector? Itu tuh seseorang bertugas menagih hutang yang biasanya sudah lama jatuh tempo tapi tak kunjung dilunasi. Kalau saya sering!
Di lembaga keuangan baik itu offline maupun online (pinjol), debitur yang tidak membayar utangnya saat jatuh tempo ini, akan dilaporkan ke biro kredit. Laporan ini konon akan membuat credit score debitur menjadi jelek. Selain itu, penagihan utang debitur akan diserahkan kepada jasa penagih utang dalam waktu tiga sampai enam bulan dari tanggal jatuh tempo.
Penagih hutang ini lah yang sering jadi momok. Entah karena cara mereka yang mengintimidasi baik secara psikologis atau fisik, ditambah “penampilan yang diseram-seramkan”, atau lainnya. Tujuan mereka hanya satu, debitur membayar hutang mereka.
Itu lah mengapa para pengempalang hutang rata-rata tak punya pengalaman enak dengan debt collector.
Dan entah bagaimana juga pengalaman saudara kita yang berprofesi sebagai penagih hutang ini, pengalaman saya sendiri, untuk usaha sendiri, sungguh tidak enak! Padahal saya tidak menggunakan trik psikologis atau ancaman fisik segala lho. Saya cuma menelpon, kirim wa, dan email. Pengalaman jadi debt collector seperti itu saja sungguh tidak nyaman.
Ketika debt collector dan debitur bertemu, pengalaman mereka sama-sama tidak enak.
Baca juga:
- Bekerja dan Bermain Komposisi Ideal yang Seharusnya Dipunyai Setiap Pekerja
- Tertipu Dalam Bisnis
- Toilet Berbayar di SPBU Pertamina
- Mengelola Pelanggan
Cerita Pengalaman Jadi Deb Collector
Oh ya Debt collector adalah pihak ketiga yang ditunjuk oleh Lembaga Keuangan atau kreditur dengan tujuan untuk menagih hutang debitur yang menunggak. Kalau saya adalah pemilik usaha yang juga melakukan penagihan kepada pelanggan yang menunggak cukup lama. Jadi saya adalah debt collector untuk usaha sendiri.
Ceritanya, kami punya pelanggan, sebuah cafe elit dan terletek di daerah elit. Nama cafe itu bagus, mengingatkan saya pada ayuverda, suatu konsep ilmu kesehatan asal India dengan prinsip dasar menjaga keseimbangan tubuh, pikiran, jiwa dan lingkungan.
Saya tidak tahu cafe ini laris manis, banyak pengunjung atau tidak. Namun perusahaan yang menaunginya pernah membuat saya mangkel luar dalam gara-gara tidak kunjung bayar hutang atas sejumlah barang yang mereka ambil untuk kebutuhan cafe ini. Pengalaman jadi debt collector sebenarnya bukan hanya dengan mereka. Tapi mengingat ironisnya, antara nilai-nila core bisnis mereka dengan perilaku yang kurang sesuai, saya tergerak menuliskannya di blog ini.
Coba bayangkan janji bayar 2 minggu molor sampai hampir 4 bulan. Berkali-kali di telepon tapi tidak satu kalipun bagian kasirnya mau di temui. Ada-ada saja alasannya, belum datang, sedang keluar, sedang meeting, sedang makan siang, atau tidak masuk.
Kebetulan, saya pernah berkomunikasi dengan salah seorang top karyawannya yang berkebangsaan asing. Saya berharap dia bicara kepada kasir atau bosnya sekalian agar membayar kami, perusahaan kecil yang cashflow – nya sangat bergantung kepada ketepatan waktu pembayaran mereka. Namun tidak mempan, setidaknya email saya tidak di balas dan rekening bank kami belum juga mencatat pemasukan dari pelanggan ini.
Group Usaha Besar Tapi Senang Ngemplang
Lalu saya teringat untuk gooling mereka. Dan astaga! Ternyata mereka sebuah group usaha yang core bisnisnya persis seperti yang saya bayangkan, menjual makanan sehat dan memakai prinsip-prinsip ayuverda seperti memakai tumbuh-tumbuhan untuk menangani ketidak seimbangan tubuh manusia.
Namun untuk saya mereka segerombolan orang sadis! Saya berasumsi, mereka beranggapan bahwa membayar untuk memperoleh sesuatu, sepertinya, memberi mereka hak untuk menyiksa supplier kecil seperti usaha saya ini.
Setelah empat bulan, saya paksa diri sendiri untuk pasrah, melupakan memiliki tagihan pada perusahaan ini. Pengalaman jadi debt collector itu sungguh tak enak. Jadi anggap saja buang sial dan kapan-kapan saya akan makan di cafe mereka dan buat bocoran kepada karyawannya bahwa saya salah adalah seorang supplier yang tidak dibayar oleh perusahaan tempatnya bekerja. Semoga bosnya baik-baik saja.
Akhirnya Menerapkan Pembayaran di Muka
Dan ajaib, sebelum niat itu terlaksana, mereka mengontak kami lagi dan butuh palm sugar segara. Kalau bisa besok akan diambil, kata orang yang menelepon. Sebelum saya nyerocos lebih jauh, dia mengatakan akan mentransfer tagihan terdahulu, sekalian bayar pesanan baru.
Dengan setenang hewan berdarah dingin saya menjawab, ” baik bu, saya tunggu dulu uangnya masuk, setelah itu silahkan datang untuk ambil barang.”
Hari ini mereka datang lagi setelah mengirim po-nya dua hari yang lalu. Prosedur harus transfer dahulu atau bayar secara cash adalah persyaratan saya. Namun memang dasar Pak Suami tidak pernah merasakan pahitnya pengalaman jadi debt collector, membuat kebijakan sendiri dengan mengijinkan karyawan perusahaan itu mengambil barang. Padahal menurut mereka pembayaran baru akan masuk besok sebab melalui transfer antar bank.
Yah, tampaknya memang harus demikian. Hari ini saya harus memberikan yang terbaik dari diri saya kepada pelanggan ini yaitu kepercayaan. Lagi pula memang tidak tega menolak memberikan barang kepada karyawan yang sudah jauh-jauh datang ke tempat kami. Saya sempat minta maaf saat memeriksa bukti transfer mereka, ” nothing personal, Pak. Cuma jaga-jaga, soalnya gak enak jadi debt collector”
Dan si Bapak mengerti. Malah dia meninggalkan no.hp kalau-kalau nanti saya butuh bantuan masalah pembayaran ini. Pengalaman jadi debt collector seperti ini ternyata ikut mendewasakan saya lho. Kapan-kapan deh saya ceritakan lagi.
Salam,
— Evi