Mereka yang akrab dengan buku The Secret karya Rhonda Byrne tentunya akrab pula dengan 3 konsep dasar yang telah dipercayai dan dipraktekan oleh jutaan orang selama ribuan tahun di seluruh dunia. Ke-3 konsep itu adalah asking, believing and receiving..
Maksudnya, setelah mengetahui keinginan, kemudian memintanya, kita harus mempercayai bahwa kita sudah memiliki keinginan tersebut saat itu juga. Proses terjadinya berawal di dalam realitas yang tidak kasat mata, kemudian semesta bergerak mendatangkan seluruh permintaan tersebut ke dalam realitas kasat mata. Syaratnya adalah kita harus bertindak, berbicara, dan berpikir, seakan-akan kita telah menerimanya sekarang juga.
Mengapa? Karena Semesta adalah sebuah cermin. Hukum tarik-menarik memantulkan kembali pikiran dominan kepada sang pemiliknya. Jika pikiran-pikiran yang kita pendam adalah penglihatan kekurangan, maka kita akan terus menarik kekurangan ke dalam hidup kita.
Nah, untuk mendatangkan gambar-gambar positif yang hendak kita ujudkan ke dalam hidup, kita harus memancarkan frekuensi yang sesuai; perasaan sudah memilikinya.
Sebab ketika kita melakukan ini, hukum tarik-menarik akan dengan kuat menggerakkan semua situasi, orang, dan peristiwa kepada Anda untuk menerima apa yang Anda inginkan.
Yang menarik adalah setelah membaca buku The Secret, konsep daya tarik saya temukan bertebaran di mana-mana. Dalam puisi Rumi pernah saya tuliskan. Tapi dalam pemikiran Marxisme? Iya, bahkan dalam pemikiran sosialisme Marx saya menemukan hukum daya tarik sedang di praktekan.
Marx membangun teorinya berdasarkan pendekatan Hegel tentang “dialektika” yang terjadi pada dunia ide.
Menurut Hegel, setiap ide merupakan hasil tercanggih dari proses tesis dan antitesis. Sebuah tesis akan mendapatkan negasinya sehingga kemudian dari negativitas ini ditemukan jalan tengah sebagai sintesis atau tesis baru. Peristiwa ini berjalan terus-menerus sehingga kebenaran mutlak mempertunjukkan dirinya sebagai jawaban mutakhir.
Di sini lah Marx mengambil gagasan Hegel tersebut. Jika Hegel menyatakan bahwa dialektika hanya terjadi di dunia ide, Marx membuat perbedaan sedikit dengan menerapkan dialektika Hegel pada tingkat material.
Dalam bagian Pendahuluan Das Kapital ia menulis: “Bagi Hegel, proses berpikir menciptakan dunia nyata, dan dunia nyata hanya pengejawantahan ‘Ide.’ Bagi saya ‘Ide’ adalah dunia material yang direfleksikan akal manusia dan diterjemahkan melalui pemikiran.”
Tapi saya tidak melihat ada perbedaan dalam pemikiran kedua filosof besar ini. Lah wong baik dialektika Hegel atau Marx menganggap bahwa dunia material sebagai realitas terakhir kok.
Menarik bukan ?
Salam,
— Evi