Mengapa kita harus mematuhi norma? Dari Pengalaman Masa Kecil – Pernah terpikir mengapa dulu ibu melarang kita bicara saat makan? Atau mengernyit ketika kita mengunyah makanan dengan berbunyi? Saya dulu termasuk gadis rewel. Tidak melihat alasan mengapa harus ikut aturan seperti itu. Kalau memang ingin bicara, sepanjang nasi di mulut tidak mem-polusi orang lain, apa salahnya ngomong sambil makan? Apa salahnya mengeluarkan bunyi saat mengunyah?
Ibu dulu tidak mampu menjelaskan mengapa. Pokoknya bicara atau berbunyi kala makan tidak sopan. Itu aturannya. Titik.
Memang waktu itu pernah juga berpikir bahwa ibu tidak salah. Bagaimana mungkin salah karena semua anak kecil di kampung kami mengetahui hal yang sama. Larangan seperti itu sering didengungkan baik di rumah dan di sekolah. Hanya malangnya saya berpiki saya juga tidak salah.
Norma Dari Pengalaman Masa Kecil
Sayangnya, saat itu, otak kecil saya belum mampu menangkap makhluk bernama norma. Yah itu lah, norma masyarakat, konsep yang lahir atas kesepakatan bersama. Tentu saja saja konsep itu di luar kehendak ibu. Ibu mendapatkan dari ibunya. Nenek dan buyut saya mendapatkan dari moyang mereka di lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal.
Kalau saja mengetahui bahwa keberadaannya tidak main-main karena dikawal lewat pemberian reward and punishment, pasti saya bisa menghindari banyak ketegangan dengan ibu, perempuan paling tabah sedunia.
Norma ini senantiasa menuntut bahwa kita harus selaras dengan lingkungan. Bila lingkungan menuntut cara berpakaian tertentu, kita harus berpakaian dengan cara tertentu.
Norma berpakaian dalam masyarakat saya saat itu anak perempuan pakai dress atau rok. Anak lelaki memakai celana pendek atau panjang.
Norma berpakaian itu membawa penderitaan tersendiri, dan sering membuat saya menangis. Karena saya tidak begitu suka pakai rok.
Di masa kecil saya sudah berpirikan bahwa secarik kain yang melekat di badan selayaknya memberi rasa aman. Dan saya tidak mendapat rasa aman dengan rok. Karena kesibukan harian saya adalah memanjat pohon mangga, main ayunan, nyebur ke kolam ikan atau menghalau burung pipit di sawah.
Mestinya ibu memakaikan celana pendek bertali seperti yang dipakaikan pada adik lelaki saya. Atau seperti yang dipakai Amilus, teman sekaligus musuh saya.
Mengapa Kita Harus Mematuhi Norma Masyarakat?
Ide memakai celana pendek itu tampaknya terlalu memojokan ibu sampai ke daerah frontier. Permintaan memakai celana pendek itu membuat ibu tercengang. Mulanya beliau marah, mengatakan saya anak paling aneh yang suka malu-maluin orang tua. Beliau diam saat menerima argumen saya. Tapi lama-lama menangis. Dalam tangisan itu saya menerima perkataan beliau bahwa saya anak yang aneh dan gak tahu malu.
Tahu rasanya? Sedih banget!
Tapi saya tidak mau terus-terusan sedih. Apa lagi membuat ibu bersedih. Saya lebih suka membiarkan mata Amilus dan lainnya merekam, apa saja warna pakaian dalam saya saat ramai-ramai memanjat pohon jeruk bali di atas kuburan. Untuk Amilus toh dia sudah janji kalau besar nanti akan mengawini saya.
Walau pun setelah dewasa saya menikah dengan orang lain dan Amilus tidak tahu di mana rimbanya.
Jadi mengapa kita harus mematuhi norma masyarakat? Salah satunya agar tidak sedih. Agar tidak dapat label negatif dan tetap hidup harmonis dalam kelompok.
Jadi kalau kamu tidak ingin bersedih, tak mau dapat label negatif, patuhi saja norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di mana kamu tinggal.
Rugi?
Menurut saya sih tidak! Malah bermanfaat. Bersedih karena melanggar aturan norma itu pekerjaan sia-sia. Lebih baik energi disalurkan ke hal-hal bermanfaat. Ke sesuatu yang membuat karyamu berharga bagi kehidupan.
Beginilah Cara Kerja Norma-Norma Dalam Masyarakat
Berbeda dengan hukum resmi, norma tidak mempunyai sangsi tertulis tertentu yang mengikat anggota kelompok. Pelanggar norma tidak akan pernah dipanggil polisi atau masuk penjara. Kalau itu perbuatan kriminal namanya, beda lagi kasusunya.
Untuk pelanggar norma, paling-paling kamu hanya akan akan memperoleh bisik-bisik. Kamu dibicarakan di belakang dan terkadang dipencilkan masyarakat? Karena apa? Karena kamu merusak tatanan harmonis yang sudah disepakai bersama.
Di masa kecil saya tidak begitu mengerti efek dibicarakan di belakang. Tapi mengerti tentang kesedihan ibu. Makanya saya ikutan merumput bersama saja.
Sekalipun saya paham, teramat sukar mengendalikan impuls-impuls yang memanggil dari dalam. Saya cukup peduli untuk tidak akan membiarkan ibu jadi korban bisik-bisik tetangga, “ kasihan ya anak perempunya kok bengal seperti anak laki-laki.” Norma dari pengalaman masa kecil ini membentuk siapa saya sekarang.
Mengapa kita harus norma masyarakat sejak kecil? Karena latihan seperti itu ternyata bermanfaat sampai dewasa. Mematuhi norma dari pengalaman masa kecil, menurut Indra, sang suami (bukan Amilus :)) saya termasuk jago dalam membaca tanda-tanda. Menurut saya ini hanyalah perkara kemampuan dalam membaca norma-norma. Dan keahlian ini seharusnya dimiliki semua orang dewasa.