pohon.jpg”>
Saya pernah punya rumah pohon. Bahkan sampai dua. Yang satu terletak diatas pohon mangga disamping dapur dan yang satu lagi di atas pohon jeruk di muka rumah. Bentuknya memang tidak sebesar dan sekeren foto di samping ini. Tapi yang paling bagus dan paling membetahkan yang di pohon mangga. Lokasi geografis kedua rumah itu di halaman rumah nenek di pedalaman Bukittinggi sana.
Lantai rumah itu terbuat dari kayu nangka. Dindingnya perpaduan antara gelondong2 kayu bakar, anyaman bambu dan kain sarung usang. Tidak ingat persis dari mana kami mendapatkan bahan-bahan pembangun rumah itu tapi yang saya ingat, yang memantek dan merancang konstruksi rumah itu agar papannya tidak lari kian kemari, seorang tukang keliling bernama Mak Oleang.
Tidak tahu mengapa Bapak ini dipanggil Oleang yang artinya miring dalam bahasa Minangkabau. Mungkin karena mata kirinya juling atau kebiasaannya memiringkan kepala ke kiri kalau sedang diajak bicara. Yang jelas nenek memanggilnya Sidi dan Mak sidi seratus persen bebas dari konotasi berotak miring.
Tidak seperti lelaki dewasa lainya di kampung kami, Mak Oleang sangat mudah didekati. Cirinya yang lain suka tersenyum dan bersuara pelan. Kalau sedang tidak punya job, dia suka mampir ke rumah kami dan mencoba rebusan ubi sambil minum air putih rasa pandan buatan nenek. Saat-saat kosong seperti itulah yang kami manfaatkan agar di buatkan rumah pohon.
Hingga sekarang saya masih ingat pada sobekan di atas bahu kiri kemejanya seperti bulu angsa di tiup angin kala mengayun-ayunkan martil . Rasanya Mak Olenga tidak pernah berganti baju selain kemeja yang dulunya mungkin berwarna telur asin itu. Hanya untuk satu hal kami perlu waspada: tidak boleh terlalu dekat dengan tas kulit hitam bertali yang berisi segala perlatan pertukangannya.
Mungkin karena itu lah nenek perlu melindunginya dengan mengeluarkan peringatan berkali-kali agar Mak Oleang berhati-hati terhadap kami. Melayani permintaan gerombolan anak yang kalau dikasih sehasta minta sedepa pasti tidak akan ada habisnya.
Sejak tadi saya menyebutkan kami atas kepemilikan rumah pohon itu. Mereka itu adalah kakak saya, adik saya dan calon suami saya bernama Amilus ( setidaknya begitulah mereka menyebutnya ). Namun kalau saya berhasil memisahkan antara fakta dan klaim yang berkabut asumsi, seutuhnya rumah pohon itu adalah milik saya. Tapi dimanapun anak di dunia harus berbagi dan egois tidak ada bagusnya selain berteman dengan api nereka.
Pada akhirnya aparteman milik bersama itu memang lebih banyak saya yang menempati. Karena tidak banyak yang bisa dimasukan ke dalamnya, ruangan di dalamnya cukup lega untuk merebahkan badan sambil mengintip keluar. Sungguh nyaman. Aman dan terlindung dari rongrongan nenek dan ibu.
Dari rumah pohon itu pula lah saya juga dapat mendengar suara alam lebih dramatis. Jeritan angin yang menggeletarkan tangkai dan daun yang menggesek dinding rumah terdengar lebih keras. Air hujan yang menghempas dipermukaan atap seng menderu-deru mengingatkan pada detik-detik tenggelamnya kapal Malin Kundang.
Ngomong-ngomong mengapa malam ini saya jadi melankolis ya?