Saya terkejut mendengar kabar bahwa per 1 Juli 2008, harga bahan bakar gas di Alam Sutera naik dari Rp. 57.000 menjadi Rp. 70. 000/tabung isi 12 Kg. “Ci, kita sedang menuju kemana sih?” Tanya o’on saya kepada si pemilik warung. Dan yang diajak bicara langsung menyesuaikan frekwensi. “Tidak tahu Bu Evi, ke laut barangkali untuk karam bersama..” Ujarnya kalem.
Dari sana lah percakapan yang awalnya order gas berubah menjadi gossip politik. Seharusnya pemerintah begini bukan begitu. Waras gak sih mereka terus menerus membuat kebijakan yang berakibat pada pelajuan tingkat inflansi? Kalau di negara maju wajar jika BBMnya tidak disubsidi, lah pendapatan perkapita mereka juga tinggi. Atau mungkin ada seseorang yang sedang merancang scenario besar ekonomi seperti awal jatuhnya Pak Harto dulu. Apalagi pemilu tahun 2009 sudah semakin dekat. Dalam politik everything is possible. Kalau tidak dihentikan waktu percakapan itu akan so on and so on.
Tapi sesungguhnya saya berharap yang Berkuasa Diatas sana tidak selentingpun mendengar pertukaran ide-ide o’on kami. Saya lebih suka bangsa Indonesia ini tetap menjadi pelayar tangguh. Tidak akan karam walau setinggi apapun ombak menghantam. Dijajah bangsa asing saja tahan sampai ratusan tahun, apa lagi kalau hanya soal kenaikan harga. Kecil….
Sayangnya otak saya tidak sependapat. Jauh di dalam sana dia memproduksi sesuatu yang menyebabkan perut jadi mules, perih dan kembung. Kalau sekedar untuk kebutuhan rumah tangga kenaikan harga itu tidak begitu berarti sebab thanks to God, mamanya Adit dan Valdi diciptakan tidak begitu cinta dapur. Kalau bisa matang lewat microve atau oven, ngapain repot-repot menyakalakan kompor. Jadi, paling banter kebutuhan gas hanya 1-1.5 botol/bulan.
Tapi bel berdering untuk pengusaha gula aren semut/arenga palm sugar.
Saya pikir saya mempunyai tingkat pencerahan tertentu dalam hidup. Saya paling tidak suka menyiksa diri dengan matematika. Namun sedodol-dodolnya pengusaha, tidak mengkalkulasi prosentasi kenaikan belanja produksi terhadap produk sama saja dengan mengatakan beri saya semangkuk bakso tapi tidak usah pakai kuah, mie dan baksonya.
Ok, sekarang semua sudah naik. Bahan baku, transportasi, packaging dan sekarang bahan bakar gas. So what gitu lho? Ya ikut menaikan harga jual lah! It is so simple. Hanya pertanyaan sebagai pelanggan, siapa di dunia yang senang mendengar berita kenaikan harga?
Sekalipun begitu mestinya tidak perlu ribut-ribut ya? Tapi tidak tuh, seakan keributan dapat mengembalikan harga ke posisi semula, saya terus ribut sapanjang hari kemarin. Ini adalah perkara hidup dan mati. Perkara kelangsungan ekonomi, yang tidak hanya ekonomi keluarga sendiri tapi juga ekonomi keluarga ratusan petani dan beberapa karyawan kami.
Tapi tunggu dulu. Sepertinya inilah kesempatan paling bagus bagi kami untuk keluar dari kerumunan, berhenti meng-undervalue produk dengan meletakannya sebagai komiditi dasar yang tentu saja akan selalu bersitegang dengan pelanggan saat harga meningkat. Setelah keluar dari pakem gula tradisional dan memperoleh sertifikasi organik pula dari IMO Switzerland, seharusnya ada cara lebih cerdas dalam memasarkan Diva’s Arenga Palm Sugar sebagai value-added product.
Aha! Ini baru terasa masuk akal.
Salam organik,
— Evi
Diva’s Arenga Palm Sugar
Natural Sugar for All Purpose Sweeteners