Kalau belanja di pasar tradisional lain pula pengalamannya. Beli ikan atau daging sekilo kekurangan timbangannya bisa sampai 1 Ons. Pernah saya sampaikan agar pedagang menera ulang timbangannya. Hanya memang sampai disitu: menyampaikan, karena tidak penting pula berkomentar panjang lebar. Apalagi kalau yang bersangkutan beranggapan bahwa timbangannya baik-baik saja. Jadi selesai lah cerita. Hanya janji dalam hati tidak akan belanja lagi ke sini.
Saya juga pernah malas menawar-menawar apalagi kepada tukang sayur yang sudah jadi langganan. Masa iya sih dia akan ‘menggetok?”. Karena pikiran seperti itu hanya ada dalam kepala saya dan bukan di kepala si penjual, tidak urung akhirnya merasa ‘ bodoh’ setelah sadar mengeluarkan kelebihan beberapa ribu rupiah untuk sesuatu yang tidak perlu. Janji dalam hati untuk memecatnya sebagai pelanggan.
Terus ada lagi kejadian yang membuat saya merasa tidak waras tapi diam saja setelah “merasa diperlakukan tidak adil” oleh tukang bubur ayam kaki lima di Bandung. Semangkuk bubur nasi plus tambahan sepotong kecil goreng paha ayam kampung dihargai Rp. 25.000 per porsi . Seharusnya harga itu membutuhkan sedikit penjelasan, seperti, apakah untuk pelanggan luar kota saja atau memang seluruh customer mendapat harga yang sama? Namun karena saya adalah pembeli yang baik, bubur itu sudah masuk perut anak-anak, dan rasanya tidak pas ribut-ribut di tengah suasana liburan, maka saya diam saja.
Tapi sejujurnya saya merasa di rampok saat mengeluarkan 75.000 untuk 3 mangkuk bubur ayam yang rasanya biasa-biasa. Never, never, never come back!
Pelanggan yang tidak puas tapi tidak melayangkan komplain ternyata bukan saya sendiri. Setidaknya itu yang dikatakan sebuah riset yang disampaikan oleh Laksana Ardi Soemantri, GM Hotel Kartika Chandra saat memaparkan makalanya yang berjudul Pelayanan Prima di Hotel Ambhara siang tadi ( 23 Juli 2008). Seminar yang di gagas oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta ini membuat saya mengerti bahwa hanya 4% dari pelanggan yang kecewa melayangkan complain atas ketidakpuasan mereka atas sebuah produk/service yang mereka beli. 96% persen lainnya mengambil posisi diam, lalu 91% diantaranya memutuskan tidak akan membeli lagi.
Aha! Ini memang sesuatu yang baru untuk saya. Sekarang saya akan mengambil posisi sebagai pebisnis yang hidup dan mati bisnisnya sama seperti bisnis milik siapapun di dunia ini bahwa THE CUSTOMERS ARE THE LIFE-BLOOD OF ANY BUSINESS ORGANIZATION. Umpama salah seorang pelanggan kami kecewa terhadap produk yang mereka beli tapi untuk berbagai macam alasan tidak memberi feed back, hanya memutuskan tidak akan membeli lagi, kira-kira apa yang akan terjadi?
Biasanya kita hanya kebakaran jenggot kalau kehilangan pelanggan besar dan sedikit abai kalau kehilangan pelanggan kecil. Tapi coba jawabanya dilihat dalam perspektif ini: Bila pelanggan kecil ini sanggup memberi keuntungan sebesar Rp100.000/bulan, dalam 5 tahun, perusahaan telah gagal memetik keuntungan sebesar Rp.6.000.000. Itu hanya dari 1 pelanggan. Sekarang coba hitung berapa banyak pelanggan yang hanya membeli satu kali saja dari produk kita?
Jadi berterima kasihlah kepada pelanggan kita yang cerewet, susah di puaskandan minta ampun itu. Kalau perlu sematkan mereka bintang, setidak dalam hati kita. Sebab mereka lah yang member kita jalan untuk menjadi besar karena berhasil menunjukan titik-titik yang perlu di perbaiki dalam bisnis kita.
Salam organis,
— Evi
Diva’s Arenga Palm Sugar
Natural Sugar for All Purpose Sweeteners