Sistem ekonomi tidak lepas dari tingkat perkembangan masyarakatnya. Pada masa sistem pertukaran belum terlembaga, bercocok tanam hanya bertujuan memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Era ini ini berdekatan pula dengan food gathering economic. Om dan tante di IPB menyebut pelaku pertanian ini sebagai pencocok tanam. Para cultivator ini belum kenal sarana angkut, media komunikasi dan pasar. Bisa dimengeri bila kebutuhan penutup badan pun tak ada hubungannya dengan fashion. Pakaian hanya bertujuan untuk kepentingan sosial tapi itu pun tidak mutlak.
Perkembangan kebudayaan lalu melahirkan fenomena kota. Kehidupan perkotaan membuat kebutuhan manusia akan barang dan jasa semakin meningkat.Kota melahirkan logika rasional praktis. Kota juga mengembangkan seni. Maka segala kebutuhan seperti sandang dan pangan melahirkan bermacam seni. Seperti culinary dalam makanan dan fashion dalam pakaian.
Tapi antara kota dan desa jaraknya tidak terlalu jauh. Para pelintas menyeberangi garis pemisah imajiner ini setiap jari.Mereka membawa pengaruh kota ke desa. Karena itu desa tak kuasa menghentikan pengaruh kehidupan rasionalitas perkotaan. Maka kala rasionalistas kehidupan kota merembes ke desa, kebutuhan keluarga petanipun pun melebar. Selain kebutuhan sandang dan papan, lahir pula kebutuhan sosial yang meliputi upacara kelahiran, kematian, perkawinan dll. Inilah yang menyebabkan mengapa penduduk desa harus memproduksi lebih dari sekedar kebutuhan pangan untuk keluarga. Dan sejak itu lah sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Ilmuwan sosial menyebut level ini sebagai sistem pertanian pra-kapitalistik.
Saat ini kita sudah memasuki era pertanian kapitalistik yang ditandai dengan penggunaan teknologi dalam proses produksi. Pengelolaan usaha pertanian tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan pangan keluarga melainkan sengaja diarahkan untuk meraih keuntungan ( profit oriented).
Lantas dimana pula letak pertanian aren rakyat dalam struktur pertanian kapitalis ini? Dari mengamati karakteristik sejumlah rumah tangga petani aren, secara umum, kita masih bercokol di level pra-kapitalistik alias masih terbelakang.
Alasa-alasan mengapa pengembangan pohon aren dianggap masih terbelakang:
1. Sebagian besar tanaman aren tidak dibudidayakan.
2. Walaupun hampir seluruh bagian dari tanaman ini memiliki nilai ekonomis, penyebaran pertumbuhannya masih mengandalkan binatang liar seperti musang. Hewan ini memakan buah aren masak dan mengeluarkan biji lewat kotorannya di sembarang tempat. Biji ini lah yang kelak akan tumbuh sebagai pohon aren baru.
3. Lokasi tumbuh pohon terlalu menyebar dan tidak jarang aren tumbuh diatas lereng-lereng terjal sehingga menyulitkan petani untuk menderes niranya. Pohon seperti itu ditelantarkan jadi tak bisa digunakan sebagai penunjang ekonomi.
4. Generasi muda menganggap menyadap nira adalah pekerjaan tanpa prestise. Ketimbang bekerja dengan aren mereka lebih suka pergi ke luar desa mencari pekerjaan. Melamar sebagai buruh di pabrik dianggap lebih bermartabat ketimbang menyadap aren.
Karena hal-hal tersebut diatas, bisa dipahami mengapa semakin lama semakin sulit mendatapkan gula aren bermutu. Karena kelangkaan nira aren membuat orang nekat mencampurnya dengan nira lain seperti tebu dan nira kelapa. Sampai dipasar gula oplosan ini tetap diaku sebagai gula aren. Tapi kalau Anda cermat ada perbedaan mencolok antara gula aren murni dengan yang oplosan. Yang asli lebih wangi semenra yang oplosan aromanya bervariasi dari tebu sampai perasa makanan.
April 2006 -salinan dari Multiply