Banyak sikap yang diperlihatkan orang Indonesia mengenai resesi ekonomi dunia tahun 2008 ini. Krisis yang berawal dari pasar keuangan Amerika menjalar ke sektor ril lalu perlahan merambat ke seluruh dunia. Yang optimis mengatakan kita tidak akan begitu terpengaruh karena ekspor barang kita kesana relatif sedikit. Sementara yang pesimis, seperti terbaca di koran-koran, bereaksi tidak kalah sewotnya dari penduduk AS sendiri. Mereka seperti penumpang kapal yang akan tenggelam.
Karena bukan ahli ekonomi saya tidak tahu mana yang benar. Kalau boleh berharap, maunya berdiri disisi para optimis saja, bahwa Indonesia punya jurus pintar menghindarkan diri dari segala badai krisis. Sektor consumer goods terus bertumbuh sehingga orderan gula semut terus mengalir.Disamping itu mungkin juga tidak begitu perduli. Bukan karena orderan gula semut masih lancar namun melalui sejarah saya tahu bahwa setelah masa krisis pasti akan datang masa kejayaan. Setelah bearish akan ada bullish. Begitu siklus tampaknya berputar, jadi, kok pusing amat!
Taruhlah krisis itu akhirnya sampai juga ke Indonesia, menyentuh sektor ril yang menjadi underlying perekonomian sesungguhnya. Apa saya perlu ikut membakar janggut juga?
Sebagai wirausaha yang dari awal sudah bertekat mandiri dari segala bentuk penjajahan ‘bossy’, kita tidak perlu bersikap seperti ‘bebek karam”. Mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa kita sedang kesusahan. Lah waktu makmur kemana saja?
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel yang di tulis Adam Khoo. Menurutnya biarkan dunia mengalami krisis karena memang itulah tugasnya: menjalankan hukum alam. Bahwa segala yang diatas perlu turun sedikit untuk mencocokan irama. Dia berpesan kepada entrepreneurs bahwa inilah saat yang tepat menanam benih kekayaan. Kalau hendak membeli saham, tidak ada waktu yang paling baik seperti saat ini. Saham-saham perusahaan dengan fundamental baik harganya sedang berguguran. Ini juga saat yang tepat untuk mengumpulkan property yang harganya sedang anjlok. Guys, suatu hari pasar akan berbalik arah, begitu katanya.
Tapi saya juga memahami kepanikan sebagian orang menghadapi krisis ini. Yang mereka takutkan bukan krisisnya tapi kemampuan mereka untuk menghadapi terkaman dari perlambatan pasar. Taruhlah krisis ini akan berjalan selama lima tahun lagi. Setiap tahun daya beli konsumen akan menurun, lalu negara mereka berhenti sama sekali mengimpor bahan makanan dari Indonesia. Otomatis suplai gula semut saya ke beberapa pabrik makanan dan herbal juga akan terhenti dong? Apa punya napas menunggu selama itu?
Jawabannya pasti tidak lah! Meminjam optimisme Adam Khoo, mungkin ini saat yang tepat untuk melihat kedalam bisnis kita secara intensif. Misalnya meningkatkan produktifitas melalui peningkatan penjualan. Ngomong sih gampang tapi bagaimana caranya?
Bicara mengenai cara-cara pasti tidak mudah. Bukan karena perlu penerapan teori yang rumit melainkan butuh karena butuh pengalaman. Dan pengalaman bisa dipakai kalau pernah terbukti berhasil.
Saya juga bukan seorang sales. Namun saya melihat ada logika sederhana yang perlu di pahami seorang entreprener dalam menyikapi perlambatan pasar selama krisis ini. Bahwa ketika sebuah usaha mengalami masalah,untuk selamat, mereka pasti menerapkan beberapa langkah. Cari posisi dan coba bantu mereka memecahkan masalah itu dengan produk atau service kita. Masa iya mereka tidak datang berkerumun solusi yang kita tawarkan berarti “cut cost” untuk mereka?
Salam,
— Evi
Diva’s Arenga Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners