Saya bisa!.Suka banget menangisi diri sendiri. Dalam hal seharusnya saya bisa, sering mengatakan pada diri sendiri sebaliknya. Mengapa saya tak bisa, mengapa tidak pintar? Mengapa selalu gagap menghadapi berbagai persolan yang muncul akibat ke-eksisan saya di dunia?
Bukankah sejatinya saya hanya perlu memahami bahwa ilmu yang sedikit dari yang saya bisa itu sebetulnya bisa memindahkan gunung? Gunung yang saya inginkan berdiri ditempat yang saya mau?
Saya kira ada persoalan urgen yang perlu diselesaikan disini. Di jurnal transformasi ini. Saya tak bisa terus-terusan seperti burung unta yang senang menyembunyikan kepala di pasir panas. Mengatakan tak bisa yang seharusnya saya bisa. Mengatakan tak tahu tapi dengan sedikit usaha pasti tahu.
Tampaknya saya memberi porsi terlalu besar kepada insting hewani warisan manusia gua. Sebagai cara untuk bertahan hidup, moyang saya yang kadang terpaksa berkelahi untuk mendapatkan sepotong daging atau terpaksa diterkam binatang buas guna menghasilkan sepotong daging, melihat bahwa gua sebagai tempat tinggal bisa memberi rasa aman. Selain tentu saja perlindungan dalam menghindari rasa sakit dari cuaca yang tidak bersahabat.
Dengan kata lain saya terlalu sering mengikuti nenek moyang. Bersembunyi dalan comfort zone alias zona nyaman. Untuk menghindari rasa sakit dari mencoba diputuskan saja langsung mengatakan tak bisa, padahal kalau memberi usaha sedikit saya bisa.
Selama ribuan tahun, rupanya tindakan menghindari rasa sakit itu telah tertanam kedalam DNA dan alam bawah sadar saya. Tujuannya bukan lagi sekedar menghindari musuh dan cuaca ekstrim di luar melainkan berkembang sebagai self- defense yang tak menggunakan otak. Tantangan yang semestinya bisa membuat saya lebih berkembang disimpulkan sebagai rasa tidak enak yang mesti dihindari.
Kemarin seorang kerabat menawarkan sebuah pekerjaan, membuat proposal usaha bakmi ayam yang akan dijual kepada temannya. Jujur saja saya bisa membuatnya. Saya punya waktu. Hanya karena malas menghitung, malas membalik-balik literatur, dengan mudah saya kataka kan, ” sorry, I can’t do that…”
Yah, sepertinya saya memang pantas menangisi diri sendiri untuk itu. Eiiittt..tapi tak lama lagi kok. Saya akan berubah, bertransformasi menjadi pribadi lebih berkualiatas. Saya pasti bisa!
— Evi Indrawanto
Juragan gula semut aren