Cogito ergo sum artinya saya berpikir maka saya ada. Di tengah memasak siang tadi, tiba-tiba saja terkenang pada ungkapan latin terkenal itu. Karena lupa siapa pencetusnya, bertanya pada tante Google. Dia merefrensikan pada seorang ahli matematika Perancis abad ke-17 René Descartes. “Cogito, ergo sum,”katanya. “Saya berpikir karena itu saya ada.” Maksud Descartes adalah bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang. Keberadaan yang bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Itu lah membuat saya ikut berpikir. Sambil memotong ayam saya berpikir tentang makluk yang banyak jadi santapan goreng ini. Apakah ayam berpikir? Kemungkinan ada. Tapi kemungkinan dari sudut pandang manusia mereka tidak punya pikiran. Karena mereka tak berpikir itu lah mengapa sekarang berada di atas talenan saya?
Dan dari Descartez saya belajar bahwa jika ada alasan untuk meragukan kebenaran sesuatu — tidak peduli seberapa tipis keraguan itu — maka itu harus dimasukan sebagai salah.
Ah, tapi saya tidak sedang bermaksud membahas filsafat ayam. Atau salah mengorbankan seekor ayam kampung gemuk untuk makan siang. Tapi benarkah ayam tak berpikir maka kita semena-mena mengorbankan mereka?
Dengan Berpikir Apakah Kita Lebih Mulia?
Sebenar-benarnya pertanyaan yang sedang menggayut adalah pertanyaan apakah dengan berpikir kita lebih mulia? Sudah terkenalnya bagaimana kita bangga terhadap kemampuan otak kanan dan kiri ini. Selain mulia kita pun mengklaim sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi.
Sambil memotong ayam saya membayangkan makhluk tak berdaya ini menjelang dieksekusi. Apakah ia juga merasakan ketakutan menjelang nyawa tercerabut dari tubuh? Mengapa alam semesta dengan rantai makanan ini terlihat begitu kejam? Tak ada cara lain menambah energi kecuali memakan makhluk-makluk bernyawa?
Iya saya sedang terusik. Terusik dengan kebiasaan pola makan. Seharusnya saya memilih jadi vegertarian saja, hidup dari tumbuhan. Tapi begini lah munafiknya saya sebagai makhluk yang mulia. Tetap saja meneruskan membumbui ayam dan menggorengnya. Sebentar lagi jam makan siang anak-anak.
Kalau mengikuti pikiran Descartez yang mempertimbangkan kriteria kebenaran yang ketat, tanpa boleh salah sedikitpun, atau diragukan sedikit pun, klaim bahwa kita sebagai makhluk lebih mulia dari makhluk lain itu tidak benar.
Baca juga : Mencari Jalan Kebenaran
Saya Bekerja Maka Saya Ada
Biarkan Rene Descaterz dengan cogito ergo sum-nya. Sudah tugasnya sebagai filsuf mengguliti kebenaran sampai ke tulangnya.
Bagi kita manusia praktis, hidup kebanyakan lepas dari konsep cogito ergo sum.
Misalnya, kebenaran sejati dari berpikir bagi manusia adalah diikuti dengan bekerja. Karena bagi kehidupan yang menuntut kepraktisan, berpikir saja tidak cukup. Peradaban tidak terbentuk karena kita cukup berpikir. Tidak cukup membangun kebenaran dengan menyingkirkan semua kesalahan dan keraguan.
Kesalahan dan keraguan bagian dari kemanusiaan kita.
Baca juga : Alam Semesta Berproses
Wajah kebudayaan manusia meretas seperti sekarang karena ada benar dan salah di dalamnya. Kita melakukan sejumlah tindakan berasal dari buah pikir benar dan salah.
Kita berpikir, terlepas dari benar atau salah, kita akan selalu membuat blue print darinya. Lalu kita melakukan tindakan untuk mengeksekusinya.
Eh tapi, apa kah dengan mengatakan saya bekerja maka saya sudah memenuhi kriteria saya sebagai makhluk mulia?
Jawabannya tergantung kepada siapa yang menjawabnya. Otak manusia mempunyai lapisan cortex yang membuat kita amat kreatif. Ada ribuan informasi yang tertimbun di sana. Setiap saat bisa diakses yang akan memuncul seribu jawaban.
Itu tergantung pada pola pikir apa yang digunakan atau kepentingan apa yang hendak di raih dengan label makhluk mulia…
Cogito ergo sum!
Salam,