Keterikatan Pada Asal-Usul Kita – Foto ini diambil menjelang magrib dari samping rumah tempat saya dilahirkan. Rumahnya sendiri sudah bertahun-tahun ditinggalkan keluarga kami. Kondisi fisiknya sudah tidak layak huni. Saya sempat sedih menatap dinding papannya tanggal disana-sini dengan jendela berlubang. Belum lagi plafon dan lantai. Yang tetap indah di sana hanya kenangan.
Selain kenangan indah, ada satu yang tetap meriangkan perasaan : Pemandangan dari halaman samping tidak pernah berubah. Fajar dan menjelang senja saat-saat terbaik.
Berjalan di Lorong Waktu
Kalau saja saya bisa masuk ke lorong waktu, berdiri di tempat yang sama sekitar 30-35 tahun lalu dan memutar slide dengan kecepatan tinggi, maka warna-warna dari jendela foto ini akan berubah mengikuti umur padi.
Satu bulan setelah bertanam padi, pematang hanya tampak sebagai garis samar. Lalu sawah-sawah seperti tak bertepi, hanya permadani atau lapangan rumput untuk bermain sepak bola.
Yang seru adalah ketika kumpulan jutaan batang padi muda ditiup angin. Mereka meluruh perlahan, bergelombang seperti air laut mengikuti arah angin. Sebuah keindahannya tidak akan bisa dianalogikan dengan permadani manapun.
Kalau umbut padi sudah keluar, menjelang malam begini, barisan burung pipit dan bangau akan berparade pulang ke sarang. Bagi yang biasa nonton National Geography TV, formasi mereka persis seperti gerombolan ikan teri yang berarak diantara karang.
Kalau sedang tidak kebagian tugas menyalakan lampu, saya lebih suka tinggal di luar sampai suhu benar-benar drop, bau lumpur naik dan angin membawa sesuatu dari tempat jauh. Apalagi bila adzan magrib telah berlalu dan saya ngotot duduk di pelataran nenek berteriak mengancam akan mengunci pintu.
Tapi sebelum naik saya akan mencuci muka, mengambil air wudhu’ benaran atau berpura-pura, tergantung mood lah ketika itu 🙂
Baca juga : Memahami Rindu Itu Rasanya….Seribu Satu!
Seiring Waktu Warna Berubah
Perlahan-lahan daun-daun padi menua dan akhirnya menguning. Beberapa hari sebelumnya, para pemilik sawah memasang orang-orangan di beberapa sudut. Mereka rentangkan tali yang digayuti plastik bekas warna-warni lalu di kaitkan kepada setiap orang-orangan sawah. Gunanya untuk menakut-nakuti burung pipit yang akan memangsa bulir-bulir padi mereka.
Bila tiba saatnya menyabit, tiga puluh atau tiga puluh lima tahun yang lalu, saudara sekampung saya hanya mengenal tradisi gotong royong. Tidak akan ada tenaga upahan yang akan memotong dan merontokan bulir padi dari batangnya. Cukup memberi tahu kerabat dan tetangga, maka tenaga kerja berpencar mengikuti pembagian gender.
Ketika itu di desa kami, waktu panen adalah waktu gotong royong.
Baca juga : Menyambut Pagi di Kampung Halaman
Kaum lelaki menyabit, perempuan mengumpulkan hasil sabitan dan meletakannya dengan membuat tumpukan berupa bulatan. Tumpukan itu didiamkan selama 3-4 hari agar bulir melapuk. Kemudian kaum lelaki yang akan menggirik (menginjak-injak sambil diputar) dengan kaki telanjang dan perempuan membersihkan bulir padi yang sekarang sudah terpisah dari tangkainya.
Sementara pemilik sawah membantu dengan menyediakan makan siang, panganan kecil seperti ketan kelapa, pisang atau bubur sumsum.
Sebagai anak kecil, kerja kami waktu itu adalah membantu apa yang bisa di bantuk, merecoki, berebut makan siang, lalu melompat-lompat diatas tumpukan jerami segar sambil berteriak-teriak, ” hoyak…hoyak hosen!”
Sekarang saya menggigil. Entah karena bahagia mengenang masa-masa itu atau sedih karena tahu peristiwa itu tidak akan pernah terulang kembali.Tapi saya cukup cerdik untuk mengetahu bahwa saya beruntung menjadi bagian dari tempat ini, tempat keterikatan pada asal-usul. Satu tempat yang selalu menjadi refrensi ketika saya menyebut “rumah” dan ” pulang”. Pengalaman yang membuat saya memahami keterikatan pada asal-usul kita.
Update – Kerinduan Pada Kampung Halaman Membuat Saya Kembali
Tahun 2018 saya kembali ke kampung kelahiran. Mengantar bapak yang kangen kampung halaman sekaligus mengobati kerinduan saya juga.
Dan seperti apapun yang di kolong langit selalu berubah, rumah bekas tempat tinggal kami tampak semakin hancur. Halaman belakang yang dulunya adalah kolam ikan lalu kebun, sekarang sudah berubah jadi hutan. Begitu pun halaman muka, pohon mangga dan jeruk yang dulu sering saya panjat sudah tak ada. Kolam ikan dan sumur di depan sebelah kanan juga sudah tak berbentuk.
Sedang bangunan rumahnya, masih berdiri. Dapur sudah tidak terlihat, terlindung semak. Hanya Tuhan saja yang tahu sekarang di dalam dihuni oleh siapa. Tadinya saya dan kakak berniat menengok lebih dekat, tapi kondisinya membuat kami mengurungkan niat. Menakutkan kan soalnya. Ngeri karena di sana sekarang pasti sudah jadi rumah berbagai hewan. Yang paling menakutkan adalah kalau bertemu ular.
Jadi kami pandangi saja dari jauh. Dalam hati tetap berpikir itu adalah rumah kami. Saya foto dari dalam mobil saat melintas menuju Pakan Salasa. Tapi bagaimana pun, keterikatan pada asal-usul tetap menjadikan tempat itu istimewa.
Terus kok rumahnya tidak dirobohkan saja? Ah itu panjang ceritanya, kawan. Kapan-kapan akan saya tulis. Yang penting ingtlah kalimat ini: If you don’t know where you are, you don’t know who you are,. Itu ujaran seorang penulis, Pak Wendell Berry.
Salam,
— Evi Indrawanto