Entah sudah berapa lama berjangkitnya, saya perhatikan akhir-akhir ini virus entrepreneurship semakin ganas melanda Indonesia. Kalau rajin ke toko buku atau kios-kios majalah, coba perhatikan, media cetak yang membahas seputar dunia usaha semakin beragam. Dan kita juga tidak kekurangan program TV dan Radio yang membahas masalah bisnis dan segala pernik-perniknya.
Ujud dari persamaan sosial adalah komunitas. Dia lahir dari kesamaan cita-cita, kesamaan pola pikir, dan kesamaan dalam memandang sebuah konsep. Spirit dari persamaan ini akan membawa mereka yang terlibat di dalamnya menyatukan diri ke dalam ruang-ruang sosial lebih kecil yang saya sebut komunitas tadi.
Dalam lingkup ruang usaha, penggabungan diri ke dalam satu komunitas tidak semata-mata untuk menemukan teman senasib, menerima sokongan moral tetapi juga dilengkapi niatan-niatan yang sangat kompleks. Salah satu diantaranya adalah membangun relationship berkelanjutan yang akan membuka pintu-pintu peluang bisnis. Di TDA ada pomeo terkenal, “silaturahim membuka pintu rejeki.”
Semangat entreprneurship ini tentu tidak lahir begitu saja. Pendidikan dan kemudahan berkomunikasi sejak kelahiran internet mestinya adalah faktor penting penentu. Namun akar dari semangat mengapa seseorang berkeinginan untuk membangun usaha sendiri ( orang-orang kemudian menyebutnya entrepreneur) tentu saja datang dari keinginan untuk berubah. Indrawanto, juragan gula semut aren misalnya, tidak melihat peluang selain melahirkan bisnis sendiri setelah tidak tahan lagi menerima tekanan-tekanan sebagai seorang karyawan dari perusahaan orang lain.
perkembangan jonjot2 otak dari homosapiens sapiens memungkinkan mereka berimajinasi dan bermimpi. Lalu dengan itu mereka memberi makna terhadap apapun yang menelingkup kehidupan ini. Membangun usaha tidak afdol dan merasa tidak diberkati oleh Yang Diatas bila tidak memasukan unsur moralitas ke dalamnya. Karena peduli terhadap sesama menempati nilai tertinggi dari ajaran moral, maka membuka lapangan kerja dan mensejahterakan orang lain diletakan sebagai nilai fundamental perusahaan. Jadi kalau Anda sering mendengar para pengusaha semakin nyinyir saja berkisah tentang berbagi dan membantu sesama, akarnya tumbuh dari sini.
Anda pernah mendengar ungkapan ini: ” It is the essence of man to love himself, to tend to his own conservation, to seek to render his own existence happy, thus interest and desire is the only motive of all actions.” Ini adalah landasan kejujuran alamiah yang ditangkap seorang lelaki bernama Holbach ketika dia mencoba menjelaskan saat manusia mencoba menyelaraskan egoismenya dengan ajaran moral.
Dan kelekatan Holbach dengan sukma para entrepreneur adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Bila akhirnya mereka memutuskan membangun bisnis sendiri itu tidak lebih dari giuran KEBEBASAN. Bebas menentukan nasib sendiri, bebas mengatur waktu, bebas membuat keputusan, dan bebas menentukan akan dibawa kemana perusahaan. Yang paling bucit tapi selalu disamarkan, setiap entrepreneur selalu bermimpi mempunyai kebebasan secara finansial.
Iyah, kebebasan merupakan konsep yang membahagiakan. Dia membuka ikatan-ikatan, mewarkan kelapangan, apapun bisa dikerjakan sekalipun masih terikat pada reward and punishment. Semoga inilah yang menjadi pencetus bangkitnya entrepreneurship di Indonesia.
Salam,
— Evi Indrawanto
DIVA’S Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners