Picture’s source
Dulu saya adalah penonton setia film seri TVRI Little House on Prairie. Ketika itu listrik lebih sering mati dari pada hidup. Maka saban minggu saya menyempatkan berdoa dengan harap-harap cemas memohon agar listrik tidak mati. Lalu agar bisa duduk di muka TV tanpa di ganggu, saya bantu ibu membereskan pekerjaan yang biasanya jarang saya sentuh seperti mencuci piring. Bukan apa-apa, ibu suka balas dendam (ngomel) pada jam-jam ketika saya menikmati hidup 🙂
Film yang berasal dari karya buku Laura Inggalls Wilder ini membuat saya ambigu, mencintai sekaligus membenci TVRI. Untuk film yang berlangsung hanya 60 menit, iklan 60 menit berikutnya terasa keterlaluan.
Untung lah beriringan dengan pemutaran filmnya, toko buku Gunung Agung di Kwitang juga menerbitkan seri lengkap buku Little house ini. Saya jadi punya alasan menahan selera dan tidak jajan di sekolah. Karena memiliki teman yang jatuh cinta pula terhadap keluarga Inggalls, kami membuat kesepakatan dengan puasa naik becak dan jalan kaki saja ke sekolah. Hasil dari mengencangkan ikat pingga dan betis itu tiap Sabtu kami setor ke TB Gunung Agung. Dengan membeli judul2 yang berbeda dan saling bertukar membacanya, kalau tidak salah saya membaca hampir semua judul dari seri Little House.
Sebetulnya petualangan saya dengan buku tidak dimulai dari The Little House on Prairie. Sebelumnya saya sudah sangat menikmati Karl May dan Winnetou-nya, Enyd blyton dengan Lima Sekawannya, Ganes TH, Gan KL, Ko Phing Ho dll. Tapi mengapa saya tertambat hingga detik ini kepada The Little House mungkin karena diam-diam jatuh cinta pada Charles Inggalls, bapaknya Laura.
Charles Inggalls itu jago main biola. Tampan, pekerja keras, jujur, selalu memberikan yang terbaik pada keluarga, humoris, berhati lembut dan dengan kadar integritas hampir menyamai dewa. Jadi ingat pada salah satu serinya yang bercerita Charles menolak bantuan keuangan dari Edward sahabat karib keluarganya. Dia melakukan itu karena beranggapan belum memberikan tenaga terhadap sebuah pekerjaan. Padahal dia membutuhkan uang tersebut sebagai kompensasi atas panen gandum yang gagal gara-gara hama belalang.
Begitulah dari hari kehari kepala saya rusak oleh Laura Inggalls. Imajinasi kadang terbang melewati realita. Seperti Laura, saya punya nilai-nilai sendiri untuk mendefinisikan dunia. Tidak masalah bagaimana kekeuhnya seseorang menyatakan kebenaran yang dipercayainya, saya punya pendapat sendiri tentang apa yang disebut sebagai kebenaran. Orang tua dan sekolah tentu tidak sedikit jasanya menghantarkan saya pada titik ini dalam perjalanan hidup sekarang. Pada akhirnya bukulah yang mengeluarkan saya dari batasan-batasan yang berpusat pada diri sendiri.
Setelah Little House daya jelajah saya meningkat. Apalagi ditambah masa-masa pubertas yang menggelisahkan. Thanks to the good books, saya menemukan surga di dalamnya. Memang buku tidak membuat saya secara otomatis menjadi baik, menjelajahi tempat-tempat asing yang mustahil saya kunjungi rasanya bisa menggantikan beberapa rasa sakit.
Salam,
— Evi Indrawanto
DIVA’S Palm Sugar
Organic Sugar for All Purpose Sweeteners