Pernah mendengar istilah The power of kepepet? Ungkapan yang lahir sekaligus jadi  judul buku dari seorang motivator Indonesia. Arti the power of kepepet adalah tentang sebuah kekuatan yang dalam kondisi normal tidur dalam diri kita, tapi akan muncul  pada saat kita menghadapi situasi genting atau kepepet.
The power of kepepet ini bak seorang raksasa tidur yang tiba-tiba terbangun dan  menampakan diri tiba-tiba untuk melindungi atau menghindarkan kita dari hal-hal yang tak diinginkan.
Terus apakah anda pernah mengalami the power of kepepet? Saya pernah. Begini ceritanya :
Kehidupan Anjing di Kampung
Orang di kampung saya tidak akan pernah bersentuhan dengan anjing. Tepatnya amit-amit jangan sampai terkena air liurnya. Kalau terjadi mungkin perlu wudhu tujuh kali. Saya melihat sendiri seorang teman yang menggosok kakinya berulang-ulang menggunakan tanah dan rumput gara-gara dijilat anjing milik bapaknya. Dan saya pun akan berbuat demikian jika itu terjadi pada saya.
Tapi tidak berarti kami tidak memelihara anjing. Hidup di kampung membuat hewan penurut ini tetap dibutuhkan. Bahkan kadang diperbolehkan berkeliaran menjelajah seisi kampung. Pemeliharaan mereka tentu saja bertujuan ekonomi. Kalau bukan untuk berburu biasanya juga digunakan sebagai penjaga malam. Satpam yang akan menggonggong bila halaman dimasuki tamu asing.
Pencetus the Power of Kepepet
Tulisan ini mengenai kenangan tentang salah satu anjing yang berkeliaran di kampung kami, dan bangkitnya the power of kepepet, raksasa tidur dalam diri saya.
Tidak ingat persis umur berapa. Waktu itu menjelang sore. Saya bermain di jalan yang tepinnya mengalir kali kecil. Tidak lama melintas seekor anjing warna coklat. Saya pikir ada korelasi antara batang kayu yang tergeletak tidak jauh dari sana dengan si anjing. Maka dengan sekali ayun batang kayu itu mendarat di punggung si browny.
“Kik!” Setelah itu sunyi. Ternyata tak jauh tergeletak juga kerikil nganggur. Lalu “bletokk!” kali ini mengenai kepalanya.
Ketika akan mengambil kerikil kedua, kepala si browny kurus kurang gizi itu sudah mengarah kepada saya. ” Geerrr….” Matanya oval, coklat berkabut, menonjol setengahnya lalu perlahan-lahan menyipit. Kali ini dia menyalak. Satu kali, dua kali lalu berkali-kali.
Mungkin seharian si browny tidak dapat makan. Perjalanannya jauh. Dia sedang lelah. Dan mungkin saja sedang memikirkan kematian. Lah kok tiba-tiba seorang anak kurang ajar seenaknya saja melempari punggung dan kepalanya dengan benda-benda keras?
Baca juga : Penambang Koin di Pelabuhan Merak
Suara gonggongannya yang kering langsung membuat tetabuhan pecah di dada saya. Matanya membuat saya ingin lari seketika. Apa lagi terlihat cairan putih diantara rahang dan susunan geligi panjang dan runcing itu, membuat tulang-tulang belakang terasa dingin.
Yakin sudah bahwa bulu kuduk saya sudah berdiri semua. Napas tersengal-sengal. Jantung memukul hebat. Tubuh jadi panas. Insting purba berteriak-teriak agar saya jangan berdiri saja tapi ambil langkah seribu. Namun apa daya malah kaki seperti terpaku di tanah. “Lari…lari…Lari!!!..” Suara-suara dari dalam bereriak semakin kalap.
Tapi bukannya lari saya malah jongkok. Soalnya ingat seorang bijak mengatakan bahwa kalau diserang anjing jongkok saja. Sikap tubuh seperti itu akan membuat si browny berpikir bahwa kita sedang cari senjata untuk melawannya.
Dasar anjing putus asa, bukannya takut malah salaknya semakin ganas. Dengan pikiran kosong saya berdiri dan berdoa si doggy akan takut, kan tubuh saya lebih tinggi dari miliknya? Terus terang saya tidak tahu harus lari kemana. Sepertinya sore itu hanya saya seorang yang jadi penduduk kampung. Percuma juga berteriak minta tolong, takan ada yang mendengar. Terpikir bahwa kemanapun lari si browny pasti bisa mengejar. Maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa adalah melompati kali kecil di tepi jalan!
The power of kepepet saya sepertinya muncul di sana.
Baca juga : Sikerei Muda Pewaris Shamanisme Mentawai
The Power of Kepepet Membawa Saya Menyeberangi Parit
Dengan mengumpulkan seluruh kekuatan saya mulai berlari. Si coklat mengejar dari belakang. Pikiran saya gelap. Tapi berpikir bahwa di seberang kali saya akan aman. Tanpa berpikir, lalu hup! Sekali lompat, kekuatan dahsyat sudah menyeberangkan saya dengan mulus.
Waktu itu saya tidak tahu bahwa ini lah salah satu kekuatan the power of kepepet itu. Ternyata melompati sungai kecil itu merupakan pilihan cerdas. Si browny cuma berani menyalak-nyalak dari seberang sungai. Tak berani terjun ke sungai atau ikutan melompat seperti calon korbanya.
Merasa tak bisa menyentuh beberapa lama si browny tidak lagi melihat saya sebagai daging segar. Atau mungkin juga kasihan. Sebab setelah mendarat di tempat aman saya malah menangis! Suaranya amat kencang. Iramanya mengundang beberapa anak kampung datang.
Saya malu sekali. Berusaha berhenti menangis tapi tak bisa. Entah apa yang terjadi tangis saya tak kunjung berhenti sekalipun saya sudah berusaha dengan menahan napas. Malah dada rasanya seperti akan meledak.
Lalu apa yang dilakukan para berandal kampung itu? Tertawa! Tertawa! Tertawa!
Baca juga : Ego yang Terluka
Dan Nenek pun Ikut Tertawa
Rupanya ada yang melapor kejadian itu kepada nenek. Dengan tangan penuh dedak habis memberi makan itik, lengan baju digulung sampai setengah siku, beliau datang tergopoh-gopoh. Melihat bahwa selendangnya pun tidak dipakai sempurna, beliau mungkin berpikir bahwa saya sedang sekarat dan berdarah-darah.
Setelah beberapa lama memperhatikan bahwa saya tidak kurang sesuatu ia segara memerintahkan pulang. Sepertinya penderitaan belum sempurna. Walau berusaha ia sembunyikan, nenek saya ikut tertawa. Padahal cucu kesayangannya masih segugukan.
Tertatih-tatih turun ke sungai. Sepertinya semua kekuatan saya sudah dipakai oleh the Power of Kepepet. Badan dan kaki terasa tak bertenaga.
Sore itu tidak ada lagi kejadian yang sanggup mengguncangkan saya. Walaupun terasa sakit melihat menahan senyum diantara gelak teman-teman, tapi pengaruhnya tak terlalu besar. Saya perlahan memanjat dinding sungai dengan berpegangan pada semak-semak yang menjuntai. Terkejut betapa lemahnya kaki saya sekarang sebab beberapa kali tergelincir dan kembali jatuh ke sungai.
Saya mengeluh dalam hati. Saya bertambah malu karena di atas teman-teman dan nenek masih menunggu. Kemana larinya kekuatan seperti saaat melompat tadi? Kemana? Where is my wonderful gone?
Berpuluh tahun kemudian baru lah sadar bahwa kekuatan lompatan tadi tak lebih dari kerja the power of kepepet. Yang muncul di saat genting, membahayakan jiwa. Ah seandainya saja  bisa diakses tiap saat?
Untuk teman-teman yang ingin punya bukunya, silahkan pesan di Tokped
Salam,
— Evi Indrawanto