Kalau tiba-tiba diminta menggambar dan diberi kebebasan menggoreskan apapun yang sedang terlintas dipikiran, kira-kira gambar apa yang akan muncul di kertasku?
Aku akan membuat dua buah gunung dengan matahari di tengah-tengahnya. Atau menarik garis-garis lurus, menghubungkan satu sama lain sehingga gambar tersebut dapat kuberi judul sawah. Atau sebuah rumah di tepi desa dengan pohon kelapa di halamannya?
Terkikik! Kemungkinan besar memang gambar inilah yang akan keluar.
Bila perlu penjelasan (sapa lagi yang butuh:)), itulah tiga tema yang diajarkan di sekolah dasar dulu. Mungkin saja para guru juga mengajarkan gambar bunga, orang atau hewan. Tapi sejak gambar gunung, sawah dan rumah, aku tidak lagi memberi perhatian terhadap objek lain yang bisa digambar. Kemampuan menggambar seperti itu mengkristal jadi suatu pemikiran: Aku tidak bisa menggambar… Karena tidak bisa menggambar tidak perlu mencoba.
Begitulah! Aku terperangkap dalam kerangkeng pikiran khas, mengkecilkan kemampuan diri sendiri. We are too judgmental to our work! kata orang mah
Tapi sebenarnya aku bukannya tidak bisa menggambar. Coba saja beri sebatang pensil dan suruh pindahkan sebatang pohon aren keatas sehelai kertas. Hasilnya mungkin tidak senaturalis Picasso atau seabstrak Pak Affandi, tapi rasanya tidak terlalu sulit memindahkan batang aren berijuk, berdaun dan berbuah itu pada helai kertas. Aku punya pengalaman karena pernah melihat secara detail rupa sebatang aren. Kalau perlu mataku bisa berpindah-pindah antara kertas sket dengan sehelai foto aren. Masa tidak bisa juga sih?
Kalau kemudian tidak kunjung mencoba hingga saat ini lebih kepada tidak ada motivasi dan kurang kuatnya keinginan bertranformasi dari tak bisa menjadi bisa.Dan pola seperti inilah yang menutup pintu sukses sebagian besar orang.
Bagaimana dengan dirimu kawans pernah dihambat kemalasan ketika mencoba sesuatu yang baru?
–Evi