Foto
Tidak terkatakan bagaimana rasanya melihat kota Padang dan sekitarnya remuk-redam setelah di hoyak gempa berkekuatan 7,6 SR. Memang bukan gempa hebat yang pertama. Hubungan emosi dengan kota ini tampaknya membuat reaksiku terhadap peristiwa ini sedikit berbeda. Aku merasa lebih perspektif. Terasa juga semacam kesakitan menghujam hati saat menyaksikan rumah-rumah rata dengan tanah, mobil2 yang tergencet runtuhan bangunan, orang-orang yang berlari sambil menangis ketakutan. Belum lagi korban-korban yang meninggal, luka maupun yang terperangkap di reruntuhan. Entah bagaimana nasib mereka setelah setelah lebih 24 jam berlalu dari kejadian. Entah bagaimana menghadapinya jika salah satu dari korban itu adalah orang-orang tercintaku.
Banyak doa yang dimintakan sebanyak doa yang dilantunkan. Beragam emosi hasil olah pendidikan dan cara mereka mengambil tempat dalam kehidupan pun berhamburan. Tapi masih saja aku merasa bukan lah tipe yang perlu menimpakan kesalahan kepada Tuhan. Seperti bunyi doa ini : ” Ya Allah dosa apa yang telah kami lakukan sehingga di timpa bala seperti ini?” Atau ” Ampuni dosa-dosa kami ya Allah, kami percaya engkau tidak akan menimpakan cobaan melebih kekuatan kami….”
Sebagai umat beragama tentu wajar menumpahkan segala ketakutan ini kepada sang pemilik semua nyawa. Wajar pula dalam keadaan tidak berdaya tiba-tiba manusia mengingat dosa-dosa dan meminta pengampunan dari-Nya. Namun di mataku bencana adalah bencana. Tidak melihat ada relevansi antara gempa ini dengan maksud Tuhan hendak membalas dendam. Kalau kita sembarangan mengelola lingkungan lantas di luluh lantakan oleh banjir, mungkin itu adalah akibat dari sebuah perbuatan. Cara paling logis dari bagaimana alam beroperasi. Jadi itu bukan lah bentuk hukuman yang perlu Allah turunkan kepada manusia. Mestinya Dia tidak sekecil itu.
Satu-satunya cara terbaik dalam menghadapi bencana gempa seperti ini, untuk saat ini adalah menyerahkannya pada nasib. Sepanjang ilmu pengetahuan kita belum sampai ke tingkat prediksi akurat terhadap kapan, dimana dan akan diapakan gempa tersebut agar tidak merusak, sepanjang itu pula lah kita terpaksa menyerahkan persolan ini pada nasib.
Dan nasib itu sendiri sekilas tampak seperti wilayah abu-abu, tidak jelas benar siapa yang berkuasa, Allah atau manusia.
Tapi mari kita telaah seperti ini: selama beberapa abad langit merupakan misteri bagi seluruh umat manusia. Langit melahirkan jutaan puisi. Begitu jauh dan tidak terjangkaunya sehingga sebagian besar dari kita juga percaya bahwa surga terletak di sana. Namun beberapa abad terakhir ketika manusia mampu mengeksplorasi ruang angkasa, pertama-tama mengirim satelite tanpa awak yang lalu disusul pesawat berawak, tiba-tiba kita merasa memenangkan sedikit pertempuran atas nasib. Walau masih sedikit kita sekarang bisa mengatur langit, membuatnya sebagai tempat yang memungkinkan manusia berkerja dan berkarya selain di bumi.
Begitu pula sebelum ditemukanya penicilin, manusia pernah tidak berdaya terhadap kuman TBC dan cacar. Saat wabah menyerang tidak ada yang bisa di lakukan selain berdoa dan menyerah kepada nasib. Berkat ide seorang anak manusia dan penelitian yang terus menerus meperbaharui diri, tiba-tiba aku merasa bahwa Allah memberi sebagian kekuasaannya kepada umat manusia: Kalau kita mau maka kita akan menguasai nasib!
Kembali ke bencana gempa Sumbar, suatu hari nanti kita tidak perlu kalah total seperti ini. Suatu hari nanti kita tidak perlu menyerah kepada nasib seperti ini. Insting kemanusian akan terus menerus mencari untuk memperbaiki species, marsekal terhadap kekuatan alam dan membentuk ulang wajah alam semesta. Tidak peduli betapa kecilnya bumi kita di pojokan alam semesta, imajinasi dan kepercayaan akan membuat semesta ini teronggok di tangan kita.
Amin…
Salam,
–Evi Indrawanto