Tanggal 30 November 2009, Adit, sulungku genap 17 tahun. Perayaannya hanya di tingkahi pelukan hangat dari papa, mama dan Valdi. Melihat dari teman-teman perempuan Adit yang kebanyakan merayakan moment kedewasaan mereka di hotel-hotel mewah, amat bersyukur dalam hati bahwa bahwa Adit anak lelaki. Tidak terbayang bagaimana repotnya jika bulan-bulan overload pekerjaan seperti ini harus diselipkan pula mempersiapkan pesta akil baliq” 🙂
Sebagai ujud dari rasa syukur bahwa Adit telah bujang, kami sekeluarga hanya memilih menikmati makan malam sedikit istimewa di sebuah restoran bagus. Selebihnya adalah mempercepat pengakuan kedewasaannya dengan segera membuatkan KTP, SIM dan bahkan sekarang dia sudah punya bank account sendiri. Every body is happy.
Menelusup keharuan kala mengingat detik-detik kelahirannya di suatu subuh 30 November 1992. Rasa tidak enak di perut sudah terasa sejak tanggal 28 pagi. Aku tenang-tenang saja karena menurut dokter Kayanto paling banter anakku lahir tanggal 5 Desember. Jadi aku memilih membersihkan kebun rumah kontrakan kami tanpa memberi tahu ibu atau menelepon bapaknya ke kantor. Hanya dalam hati mulai sedikit deg2an, de2g bahagia tepatnya. Sambil membersihkan rumput aku terus membayangkan seperti apa wajah pengeran yang akan keluar dari tubuhku. Waktu itu aku punya satu pot mawar hybrid warna kuning dan diberi nama Queen Elizabeth oleh penemunya. Waktu menyentuh kelopaknya yang lebar dan lembut, ujung jariku seperti sudah menyentuh kulit si pangeran yang tampaknya sedang siap-siap mencari jalam keluar.
Mendekati magrib, kutemukan lendir dan bercak darah pada pakaian dalam, perut mulai serasa di putar-putar. Jarak rumah ibu dan tempat tinggal kami memang tidak begitu jauh, tapi takjub juga beliau sdh sampai lima belas menit kemudian setelah aku meneleponnya. ” Masih jauh” Kata ibu begitu diperlihatkan tanda-tandanya. Pengalamannya sebagai veteran melahirkan 5 kepala membuat ibu amat tenang dan ketenangan itu juga menular kepadaku.
Hanya saja makin malam rasa sakitnya makin jadi. Rasanya seperti ingin ke belakang terus. Begitu di bawah kesana tidak ada yang keluar tapi rasa sakitnya menetap. Menurut theori dari Majalah Ayah Bunda, tahap pembukaan awal disertai rasa sakit akan muncul tiap satu jam sekali, lalu makin pendek dan sampai rasa sakit itu menetap dan terus menerus. Saat kuperhatikan jam, rasa sakitku aneh, gak ada tahap-tahapan. Kadang 5 menit sekali, kadang 30 menit dan kadang lagi 1 jam. Tampaknya irama tubuhku kacau!
Waktu Indra pulang dari kantor dia memutuskan untuk masuk rumah sakit malam itu juga. Segala koper dan tetek bengek sudah siap jauh-jauh hari, maka tinggal angkat.
Sesampai di rumah sakit mengalami sedikit kecewa. Ini adalah kelahiran buah hatiku yang pertama, rasanya dunia harus ikut merayakan, tapi suster2 disana everything goes as usual. Mereka tidak berusaha menghubungi dokter Kayanto malah sibuk dengan tetek bengek urusan administrasi. Kemanjaan seorang calon ibu muda, memaksa suster setengah tua mengusap-ngusap perutku dan penuh rasa simpati membuat pemeriksaan dalam. Seperti kata ibu, ” masih jauh”
” Ya Allah kalau memang masih jauh mengapa mendatangkan sakit lebih awal? Ya mbok nanti saja, deket kelahiran, mules-mules itu gak enak tahu!”
Karena memang masih jauh, para suster ( setelah konsultasi dengan Dr. kayanto) menyuruh kami pulang saja dan balik esok harinya. Alah maaaaak..Tapi Indra tidak mau menanggung resiko, gimana kalau tiba-tiba malam pekat si jabang bayi tahu-tahu mrojol? Jadi kita putuskan untuk nginap saja di rumah sakit. Ibuku yang baik lalu diantar kan pulang oleh mantunya yang baik juga. Tapi aku wanti-wanti (setengah memerintah tepatnya), besok pagi setelah shalat subuh ibu harus kembali!
Tangal berganti ke 29. Pagi cerah. Pletok-pletok sepatu para pembesuk dan suster rumah sakit tidak mendatangkan romatisme sama sekali gara-gara terus disiksa rasa sakit. Jam sebelas suster kembali membuat pemeriksaan dalam, masih pembukaan dua. Ya allah butuh pembukaan berapa sih biar mules ini segera berlalu?
Untungnya Indra sudah mengajukan cuti “melahirkan” jauh-jauh hari. Hari itu semua keluharan, rengekan dan frustrasiku di tonjok sakit ditanggapinya dengan tenang. Alih-alih ikut gelisah dia menyuruh membayangkan wajah buah hati yang sebentar lagi akan datang. Guna mengalihkan perhatian dia juga menemaniku menelusuri lorong-lorong rs dan mengintip ke kamar para bayi. Terapi itu kadang berhasi tapi lebih banyak tidaknya. Aku kembali ke tempat tidur dan tampaknya ibu mulai “sebel” melihat kecengenganku hehehe…
Malam itu Dr. kayanto menelopon Indra. Menurut pembicaraan kalau besok pagi belum lahir juga maka akan diambil tindakan caecar. Setelah pembicaraan itu muka Indra jadi sendu, menghampiri dan mengusap perutku dan berbisik, ” ayo sayang cepat keluar…Mama dan papa menunggumu dengan tidak sabar”
Hampir sepanjang malam itu kulewati dengan mata terbuka. Sekitar pukul dua pagi terasa cairan hangat meluncur begitu saja dari bawah tubuh. Suster segera membawaku ke ruang bersalin. Air ketubanku pecah dan Indra mengikuti dari belakang dengan setengah tersenyum. Menurut perjanjian dengan Dr. kayanto si bapak boleh mendampingi di detik-detik kelahiran anaknya, hanya sayangnya di larang bawa camera.
Sekalipun kontraksi sdh berjalan secara otomatis dan tidak bisa lagi dikendalikan oleh tarikan nafas, Adit ternyata masih ngotot berlama-lama di tempatnya. Mulutku sudah tidak bisa lagi di rem mengeluarkan teriakan-teriakan. Belakangan diberi tahu, ibu yang mendengar di luar menangis stress dan sedikit kecewa betapa tidak tabahnya si putri ke-2nya 🙂
Dokter Kayanto muncul pukul empat. Sudah lengkap dengan jubah hijau, penutup mulut dan sarung tangan karet. Anehnya dia membawa pertanyaan, ” ibu tahu gak siapa pengarang lagu Bengawan Solo?” Emang aku tampak kurang gaul, apa? Ya tahu lah!
Kejudesan dijawabnya dengan meletakan ke dua pahaku di kursi penyangga dan kasih instruksi sana-sini pada para suster, lalu melantunlah lagu Bengawan Solo. Sambil terus malafalkan asma Allah dalam hati, Bengawan Solo membawaku ke suatu tempat tenang dan damai. Rasanya ingin memeluk si dokter saat itu. Ketika saatnya tiba, dari belakang Indra ikut menyokong punggungku saat “ngeden”, para suster ikut mendorong perut buncitku, sementara Dokter kayangto memberi aba-aba dengan hitungan sampai 3. Beberapa kali mencoba ternyata belum berhasil juga.
Ketenanganku terenggut kembali. Apalagi ketika dokter memerintahkan Indra keluar ruangan dan menjelaskan bahwa aku sudah kehabisan tenaga dan air ketubahn sudah kering sama sekali maka akan diambil tindakan kecil. Di detik itu lah betapa Allah terasa begitu dekat. Sekalipun begitu aku merasakan kematian masih jauh, maka apa saja instruksi dokter kepada para suster aku ikuti dengan cermat.
Rupanya sejak tadi mereka sudah mempersiapkan mesin vacum di ruangan itu. Begitu aku ngeden kembali, mesin beraksi…crot..sebentuk bola menggelinding keluar dari tubuhku. Setelah itu terdengar jeritan dan dalam hitungan detik, keadaan masih telanjang, bergelimang lemak dan noda darah, dokter membuka sedikit penutup dadaku dan menelungkupkan Adit di sana.
Aku tidak menemukan kalimat yang pas untuk menjelaskan momen saat itu. Semua rasa sakit sudah hilang, tubuh ringan, serasa melayang dan tiba-tiba aku dihantam gelombang emosi. Maha besar Allah bahwa mahkluk seperti ini di proses dalam tubuhku? Aku tertawa tapi mata berair. Affair kami sudah di mulai sejak dia dalam kandungan, tapi begitu ujung jariku menyentuh tubuhnya yang licin, aku tahu bahwa dunia tidak akan pernah sama lagi.
Selamat ulang tahun Dit. Aku mungkin bukan mama terbaik, tapi Adit selalu bisa mengandalkan mama sebagai sumber untuk mendapatkan cinta tanpa syarat 🙂
–Evi Indrawanto
<p style="font-size: 10px;"> Posted via email from <a href="http://evi-indrawanto.posterous.com/selamat-ulang-tahun-ke-17-dit-fb">evi-indrawanto's posterous</a>