Oleh suatu cara pengalaman yang kita lalui dalam hidup bisa berubah jadi beban-beban di pundak
Tanggal 22-24 April kemarin saya ikut pelatihan Character Building for SMEs Entrepreneurship yang diakan oleh PDKM- Departemen Perdagangan dan difasilitasi oleh Pranala Magnidaya. Pelatihan yang cocok banget untuk blog transformasi ini. Belum pernah mengikuti pelatihan seperti ini sebelumnya jadi tidak punya ide tentang apa yang akan ditemukan. Cuma berpegang pada pribahasa kuno : Ketika murid siap belajar maka guru akan muncul dengan sendirinya.
Saya tidak membuat catatan, tidak juga berusaha mengingat tapi bertekat untuk menikmati setiap pengalaman yang ditawarkan. Jadi perasaan terbuka saja saat Wirzal,fasilitator Pranala Magnidaya mengatakan bahwa seperti juga hidup, seluruh peserta di ruang itu akan dibawa menikmati pengalaman naik-turun seperti roller coster. Pengalaman naik adalah ketika kami tertawa, entah karena jokes Wirzal atau kelucuan yang datang dari bayang-bayang kehidupan kami sendiri. Pengalaman turun adalah saat-saat musik dan permaianan kata menghalau kami untuk melihat jauh ke dalam pengalaman yang telah maupun yang akan kami lalui.
Awalnya merasa bodoh “silly” oleh aksi-aksi yang mereka suruh lakukan. Aneh saja sesama peserta berbaris pegang-pegangan seperti main kereta api mengelilingi ruangan. Itu kan permainan anak kecil. Walah orang dewasa yang disuruh bermain ala kana-kanak bodoh, bukan?. Eh lama-lama karena dibombardir terus oleh kalimat afirmasi menguatkan karakter mampu juga saya meninggalkan logika dangkal itu di belakang. Siapa bilang orang dewasa tidak boleh memainkan permainan kanak-kanak? Setelah itu dengan enak saya melarut dalam kegembiraan maupun kesedihan teman-teman senasib.
Materi yang mereka beri cukup padat. Faktor U menyebabkan saya tidak lagi dapat mengingat detailnya. Namun inti sari dari pelatihan tersebut boleh lah disebut sebagai self-knowing, mentransformasikan diri kearah lebih baik. Misalnya saat mata di tutup dan menyerahkan nasib kepada buddy (soulmate selama pelatihan berlangsung) selama satu jam, jadi tahu bahwa saya tidak cukup tabah mentaati aturan main. Masalahnya saya tidak akan pernah menyodorkan mulut untuk disuapi oleh seseorang yang baru di kenal. Maka ketika telah menerima pelayanan yaitu diambilkan makan dan minum, saya angkat saja penutup mata. Tidak terlalu lebar, sekedar memastikan sendok dan garpu tidak salah sasaran. Ada sih rasa bersalah, tapi deraan ill feel jika orang lain harus melihat saya mangap membuat saya kompromi terhadap pelanggaran.
Beban-beban di Pundak
Kita yang lahir seperti kertas putih dalam pertumbuhan diisi oleh pengalaman kelompok yang sudah diberi nilai ideal. Agar diterima sebagai anggota kelompok dengan sukarela kita mengikatkan diri pada nilai-nilai tersebut. Kita anggap nilai-nilai kelompok adalah nilai-nilai kita. Sementara nilai-nilai yang biasanya berisi harapan-harapan ideal tersebut tidak selamanya ditemukan dalam pengalamankita pribadi.
Contohnya begini : Untuk disebut keluarga bahagia haruslah terdiri dari ayah-ibu dan anak-anaknya. Kehilangan salah satu diantara mereka di sebut penderitaan. Seorang ayah harus menafkahi dan menyayangi keluarga. Ketika suatu hal terjadi dan ayah tidak melakukan fungsi idealisnya, seseorang merasa terluka. Seorang ibu haruslah bersikap lembut. Ketika ibunya lebih sangar dari kuli pelabuahn hidup menjadi tak tertahankan. Anak harus berbakti kepada orang tua. Dan saat anak menemukan jalannya sendiri yang berbeda dari harapan orang tua, yang empunya anak merasa gagal.Ketidak cocokan harapan ideal masyarakat menciptakan beban di pundak kita.
Awal Derita
Dari disitulah permainan hidup di mulai. Dan dari situ pula lah asal seluruh penderitaan di muka bumi.
Nilai dan harapan ideal itu membentuk perspektif manusia terhadap lingkungan. Kita anggap mereka sangat serius. Sampai lahir pemikiran cuma kematian yang mampu menyudahinya. Dan Wirzal mengistilahkan ini gandulan-gandulan di pundak. Beban yang membuat jarak dengan cita-cita. Kita merasa terlalu tua untuk menjadi spontan atau terlalu muda untuk berpikir serius. Pokoknya apapun situasi yang memungkinkan kita menjadi lebih baik, selalu ada reasons untuk tidak melakukan. Atau selalu ada alasan menyalahkan sesatu mengapa kita tidak bisa melakukannya.
Sedihnya adalah seseorang yang tidak mengenal dirinya akan membawa beban itu kemana-mana dan seumur hidupnya.
Melepaskan Gandulan di pundak
Dan maksud dari pelatihan tersebut adalah (kalau bisa) melepaskan semua gandulan-gandulan itu dari pundak kami. Saya tidak mengijinkan kenalan baru melihat saya mangap itu merupakan salah satu gandulan saya. Padahal apa salahnya, toh dia juga punya mulut, lidah dan gigi. Apalagi mulut tidak termasuk wilayah sakral, apa salahnya memperlihatkan milik saya kepadanya? Tau lah..namanya juga Evi
You have only two choices. Live with your believe or die to your believe and live -- Sundance Burke
Salam,
27.4.2010