Oleh : Evi Indrawanto
Pagi sedang beranjak siang. Sinar matahari yang kemerahan menghambur lewat celah daun pisang,muncrat diantara dau-daun kering dan akhirnya jatuh di permukaan kolam. Air yang berwarna kehijaun memantulkan sinar itu kembali sehingga tergambarlah prisma yang seolah datang dari potongan zambrut dari negeri-negeri tersembunyi dalam dongeng. Elok dan elok!
Tetapi lelaki itu tidak memperhatikannya. Matanya menatap lurus ke Timur, menyeberangi kolam, rerumpunan batang pisang, langit yang membiru dengan guratan awan-awan putihnya lalu berakhir di dadanya yang sedang mampet. Sebidang dada kurus itu menyimpan bergumpal-gumpal perasaan yang menekan. Antara keinginan melepaskan melalui tangis dan boikot dari konstruksi sosial absur bahwa lelaki sejati tidak menangis. Itu membuatnya berkeringat, tidak bisa tidur dan susah berkonsentrasi. , sementara teman-temannya asyik di kantor, istrinya asyik menunggu toko di pasar dan anak-anak di sekolah, lelaki itu merasa harus datang ke tempat ini.
Sebenarnya tepi kolam itu tidak punya keistimewaan. Tanggul-tanggul kayu tempat teman-temannya sesama pemancing biasa nangkring sudah melapuk, tua dan lelah. Airnya yang berwarna coklat dan kadang kehijauan seperti hari ini sesekali menghantar bau anyir ke permukaan. Satu-satunya alasan keberadaannya di sini hanya lah rasa tenang yang ditimbulkannya.
Rasa yang menekan itu sudah berlangsung sejak kemarin. Hanya kalau dia membawa pandang jauh keatas, bibit prahara dada itu sdh tertanam bibitnya sejak 25 tahun lalu. Saat dia membawa seorang gadis ke gubuk pemancaingan milik pamannya di kampung mereka di kaki sebuah bukit. Tempat itu begitu sepi, mereka hanya berdua dengan dada dipenuhi cinta. Dalam dingin gerimis yang menggigit, ditingkahi lenguh halus dari bibir si gadis, jarum jam serasa melupakan tugasnya menghitung waktu. Pertemuan dua gelombang hasrat itu begitu riuh rendah dan menerbangkan mereka meninggalkan semua persoalan dunia.
Lalu nasib memainkan perannya. Mereka tidak pernah bertemu lagi sejak 25 tahun yang lalu, sejak keluarga gadis itu tahu apa yang terjadi. Mungkin kemarahan mereka tidak tidak cukup serius hanya dengan memaki-maki dan menghina seluruh keluarga besar sang lelaki, keluarga gadis itu juga merasa perlu menghilangkan gadis itu dari kampung. Lelaki itu merasa tiba-tiba hidup berubah menjadi tuli, bisu dan tidak perduli. Sepertinya gadis itu bertemu jin ajaib, dia mlenyap begitu saja tanpa cerita.
Sementara keluarganya sendiri memaafkan tindakan yang disebut oleh semua orang sebagai amoral. Tapi langit sudah terlanjur runtuh, tanpa kehadiran gadis itu, kampung hanyala sebuah neraka. Hidup di dalamnya menjadi tidak tertahan kan. Maka atas restu kedua orang tua dan diiringi linang air mata sang bunda, berangkatlah dia meninggalkan tempat dimana ari-arinya terkubur. Dia tahu bahwa kampung tidak bersalah kepadanya tapi dia juga tahu bahwa di sana tidak ada lagi tempat untuknya. Maka bertekat lah dia untuk tidak akan pernah kembali.
Karena tidak dapat menghentikan bayangnya sedikitpun terhadap kenangan itu, lima tahun yang lalu lelaki itu berinsiatif mencari tahu keberadaan si gadis lewat internet. Tidak terbersit keinginan untuk bertemu, hanya sekedar ingin mengetahui keadaan gadis itu sekarang. Apakah dia masih hidup, bersuamikan siapa, punya anak berapa dan paling penting, apakah dia bahagia?. Lagipula dia amat percaya pada satu kalimat dalam novel Sang Alkemisnya Paulo Coelho: ” Jika kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta akan membantumu mencapainya.”
Betul juga. Tidak lama, kekentalan hasratnya terujud pada sebuah akun di facebook. Iya facebook, sebuah media interaksi yang bekerja dalam benak manusia. Salah satunya, mengungkap masa lalu yang terlupakan dan keinginan dari sebagian orang untuk mengulangnya kembali. Itu lah yang mendatangkan berkah tambahan bagi resto-resto dan tempat-tempat yang enak untuk berkumpul. Terutama di Indonesia, reuni menjadi fenomena sosial ke-2 setelah kelahiran facebook itu sendiri.
Awalnya dia ragu, sekalipun namanya persis sama, yang dia temukan sekarang adalah wanita setengah baya yang cantik. Tapi dia tidak akan pernah lupa pada mata gadis itu. Bentuknya seperti buah badam, lebar di tengah dan mengerucut di ujungnya, berbulu panjang dengan tatapan yang menenggelamkan. Dengan kata lain, dulu gadis itu cantik tapi tidak menyangka kalau sekarang jauh lebih cantik.
Sesuatu dari dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus tahu lebih banyak tentang wanita itu. Tapi dia tidak akan berkonfrontasi dengan masa lalu. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa dia lelaki pengecut, so what? Tidak ngaruh, dia merasa veteran di bidang ini.
Dengan memakai nama kecil salah seorang anaknya, lelaki itu menginvite gadis yang pernah membuat dunia di sekelilingnya runtuh. Seiring berjalannya waktu dan ketekunannya mengawasi dari jauh, akhirnya dia tahu bahwa gadis itu sekarang punya 2 anak gadis dan seorang suami yang amat mencintainya. Secara ekonomi mereka juga berkecukupan. Lelaki itu merasa lega. Dan beban di pundaknya perlahan-lahan terasa lebih ringan ketika gadis itu tidak mengatakan apa-apa setelah dia memperkenalkan diri tentang siapa dia sesungguhnya. Gadis itu hanya mengatakan hello dan selamat bertemu kembali. Antara bahagia, cemburu dan merasa diabaikan, dia teruskan hidupnya bersama istri dan anak-anaknya sendiri.
Kemarin gadis itu mengirim pesan lewat inbox.
” Anak pertamaku, Clara, gadis yang biasa kamu komentari memiliki kecantikan misterius sebentar lagi akan menikah. Seluruh sekeluarga akan melepasnya dengan bahagia. Tapi malang bagi kami, Clara tiba-tiba meninggalkan hidup yang indah ini berikut semua orang yang mencintainya dalam satu kecelakaan mobil beberapa hari yang lalu. Aku pikir kamu perlu tahu tentang ini. Sebelum menikah dia berencana menemuimu dan meminta keikhlasanmu untuk melepaskan hakmu sebagai ayah kandungnya kepada papanya yang sekarang sebagai wali nikah.”
Hanya itu tulisannya. Ringkas dan menggigit. Sekarang mata lelaki itu meleleh. Sekalipun tidak jelas dia edarkan tatap ke sekelilingi, memandangi helai-helai pelepah pisang tua terkulai menyentuh air, dari jauh terdengar suara angin lalu menghilang bersama datangnya isak lirih.
” Maafkan Bapak, Nak “
Salam,
http://evi-indrawanto.blogspot.com