Strategi Pemasangan Harga – 5 Komponen Pricing Berdasarkan Elastisitas Permintaan – Jika tiba saatnya menentukan harga, besar kecilnya perusahaan tidak menentukan. Karena harga merupakan satu-satunya elemen marketing yang berpengaruh langsung pada keuntungan perusahaan. Baik Arenga Indonesia atau pun Indofood akan sama gelisahnya berhadapan dengan persoalan ini. Apakah harga produk yang akan di jual sudah tepat? Apakah akan membuat konflik di benak konsumen? Bagaimana konsumen memandang produk itu setelah ditempeli harga? Â
Tapi apapun itu, harga produk/jasa selalu di pengaruhi oleh 5 komponen pricing lewat teori Elastisitas Permintaan. Mereka adalah Produk Subtitusi, Hukum Permintaan Penawaran, Campur Tangan Pemerintah, Struktur Pasar.  Karena luasnya tema yang dibahas maka dalam note ini saya hanya membatasi diri pada komponen pertama saja yaitu: Â
Elastisitas Permintaan
Elastisitas permintaan (price elasticity of demand) adalah istilah dalam dunia ekonomi untuk menggambarkan perubahan jumlah permintaan barang terhadap perubahan harga dari barang tersebut.
Ini masih lanjutan cerita kelas Sawangan soal pengalaman Pak Herry Soebiantoro. Seorang marketer berpengalaman, alumni Indofood, dikirim ke Saudi Arabia untuk meningkatkan penjualan produk-produk mereka.
Langkah pertama yang dilakukan Pak Herry adalah mengumpulkan data penjualan di outlet-oulet di seluruh kota. Dari data yang terkumpul muncul satu mapping. Dari data mapping dapat dilahirkan satu startegi kebijakan pricing baru yang berujung pada kenaikan revenue.
1. The Mass Market Pricing
Strategi pemasangan harga seperti yang di lakukan Pak Herry disebut The Mass Market Pricing. Ini adalah satu kebijakan yang dapat dilakukan terhadap produk massal yang sudah terstandarisasi. Cara dengan menaikan volume penawaran, harga murah dan didistribusikan melalui beberapa lokasi pasar. Â
Item yang laris di tambah stocknya, harganya dinaikan. Sementara yang tidak begitu moving di tahan sementara di gudang. Â
2. Niche Market Pricing
Tapi kebijakan pricing melalui Elastisitas Permintaan tidak hanya melalui di atas. Ada lagi yang disebut sebagai Niche Market Pricing.
Ini kebalikan dari The Mass Market Pricing. Ini adalah strategi pemasangan harga khusus untuk produk2 eklusif, sangat unik dan berbeda, di design untuk pelanggan tertentu dengan volume yang sangat terbatas.
Ongkos produksinya juga tinggi untuk setiap itemnya. Disini harga terbentuk baik karena nilai tambah produk tersebut ataupun persepsi pelanggan  terhadapnya. Contohnya mungkin bisa di lihat kepada kasus brand terkenal dan mahal seperti Birkin, Gucci, dan Prada. Â
Baca juga : Strategi Marketing yang Norak!
3. Premium Pricing
Sebetulnya Pak Herry tidak membahas strategi pemasangan harga dengan topik Premium pricing dari Elastisitas Permintaan, 6 Strategi Pemasangan harga ini. Maklum lah ketika itu audiensnya kan para UKM (usaha kecil (mimpi omsetnya) milyaran):). Tapi demi melengkapi tema Elastisitas Permintaan dalam note ini, dan memperdalam pemahaman saya soalnya, dituliskan juga. Â
Baca juga : Harga Premium untuk Produk Organik
Strategi Premium Pricing ini masih bermain di ceruk pasar. Strategi yang digunakan adalah memposisikan suatu produk untuk pasar premium, dengan kata lain pasar yang dituju adalah mereka yang mepunyai daya beli sangat tinggi.
Alasan konsumen premium belanja semata-mata karena pengaruh prestise produk terhadap status sosial mereka. Disana menempel image tertentu lewat harga dan mutu barang yang ditawarkan.
Baca juga : Memetik Keuntungan di Kandang Sendiri
Strateginya dimulai dari membangun premium brand image dan harga produknya tentu harus lebih mahal dari produk sejenis. Penerapan strategi ini bisa dilakukan melalui pengamatan cermat terhadap perilaku belanja target pasar. Â
4. Stategi Value Added Pricing Dalam Strategi Pemasangan Harga
 Strategi pemasangan harga lewat value added pricing adalah cara menetapkan harga sedemikian rupa yang mewakili nilai produk yang akan ditawarkan kepada konsumen. Ambil contoh gula semut aren yang value addednya sudah lebih tinggi dari gula aren cetak.
Sebagai supplier kami harus bisa memperkirakan berapa banyak keuntungan moneter yang akan diterima konsumen dibanding jika mereka harus menggunakan gula cetak. Memakai gula cetak disamping kadar airnya masih tinggi, berdaya simpan rendah, lebih mudah jamuran. Begitu juga dengan kadar kotorannya juga relatif lebih banyak.
Sudah begitu perlu pula mengiris atau mencincang. Jadi proses pemakaian gula aren cetak relatif lebih ribet. Â Proses pengerajaan gula aren cetak tersebut menjadi gula semut membutuhkan sejumlah biaya. Taruh lah misalnya biaya pengerjaan gula semut aren Rp. 1.000/Kg.
Untuk gula aren cetak bisa jadi ongkos produksi hanya Rp.600/kg. Hanya dengan cara cara ini konsumen akan merasa layak menggunakan produk gula semut aren ketimbang gula cetaknya. Â
Baca juga : Arenga Organic Palm Sugar Premium
5. Perceived Value Added Pricing – Yang Terakhir Dari 6 Strategi Pemasangan harga
Komponen pricing ini berdasarkan perceived value. Timbul karena konsumen hendak mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari. Misalnya beberapa produk di beli untuk mencegah bahaya dan mengurangi resiko terhadap kerusakan dan kehilangan. Ujud produknya berupa alat-alat keselamatan kerja, system alaram dan asuransi.
Produk-produk ini tidak mempunyai nilai sebelum digunakan. Jadi harganya ditentukan oleh persepsi yang akan terjadi di masa yang akan datang. Â Contohnya harga premi asuransi kesehatan tentu lebih murah untuk pelanggan bersusia muda. Semakin tinggi usianya semakin premium harga preminya. Sebab perusahaan asuransi sudah memprediksi bahwa dengan menanjaknya usia semakin tinggi pula resiko kesehatan nasabah yang harus mereka tanggung.