Ibu Monyet di Kelok 44 – Cinta Tanpa Syarat – Setelah pernik-pernik urusan pernikahan Febryandie selesai kami meninggalkan kampung.Tapi tidak langsung balik ke Jakarta tapi mau piknik dulu ke beberapa destinasi di Sumatera Barat. Tanggung soalnya karena libur masih panjang. Ditambah lagi kapan lagi bisa piknik keluarga besar kalau tidak dalam even pernikahan seperti ini.
Destinasi pertama adalah Danau Maninjau. Nah dalam perjalanan menuju Maninjau ini, beberapa ratus meter sebelum masuk ke mulut kelok-44 — sebuah jalan yang melingkari pinggang danau– kami menemukan beberapa kios penjual kacang goreng. Rupanya ini termasuk salah satu atraksi, memberi makan segerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang nanti akan kami temui.
Barisan Kera Menanti Jatah di Tepi Jalan
Betul saja, baru masuk kelok no.2 terlihat beberapa ekor kera sudah duduk-duduk di tepi jalan. Sebagian keluar dari tempat persembunyian ketika mendengar bunyi mesin mobil. Begitu laju kendaraan melambat serentak mereka beramai-ramai mendekat. Dari anak-anak, dewasa bahkan terlihat juga dewasa, kawanan monyet Kelok 44 ini tampak kompak.
Dengan kepala menengadah dan mata berekedip-kedip, mereka memandangi kami. Sepertinya penuh harap.
Nah ketika satu persatu tangan menjulur keluar, melemparkan segenggam kacang, mereka mulai berebut. Dan sesekali saling berteriak. Menyerengai satu sama lain sambil mengaruk-garuk perut.
Adalah kebiasaanku atau mungkin juga bawaan orok atau aku memang mendapat kesenangan sendiri ketika berkesempatan mengamati tingkah-polah satu gerombolan. Jadi saya yang paling aktif memberi gerombolan ceria itu makanan.
Baca juga : Menjinakan Monyet
Kita Menyebut Mereka Monyet
Iya, kita menyebut mereka monyet. Dan konotasinya bisa jadi amat negatif jika di tujukan kepada manusia. Tapi dari panggung alam Kelok 44 ini aku melihat hal lain. Pantulan apik dari karakter kita, manusia. Ada yang malu-malu, ada yang ragu-ragu, ada yang menangkap sekedarnya yang berarti dapat syukur kalau enggak punya teman gue embat.
Baca juga : Jambu Monyet dan Kacang Mete
Ada pula yang lincahnya menangkap setiap butir kacang dan memasukannya ke mulut. Tapi ada juga nyebelin. Serakah. Setiap kacang yang mampir di depannya bahkan di depan kawannya di samber. Tangannya yang tak bisa memegang benda lebih banyak dipaksa kelebihan muatan. Ada yang jatuh tapi yang terpegang ia genggam erat-erat.
Ibu Monyet dengan Cinta Tanpa Syarat di Kelok 44
Tapi dari sekian suguhan karakter tersebut, aku terpesona pada seorang ibu yang bertengger di atas dahan. Ia sedang menyusui bayinya. Tidak seperti teman-temannya yang melompat kian kemari, si ibu ini duduk anteng di tempatnya dengan terus memandang ke bawah, ke arah teman-temanya. Lalu sesekali ia berpaling, sambil membelai-belai kepala anaknya, ia memandang sayu ke arah jauh.
Baca juga : Jejak Sunan Kalijaga Goa Kreo Semarang
Saya jadi berpikir, entah apa yang menghalangi ibu itu mendapat jatah makanan hari itu. Mungkin ia sudah kenyang. Seperti kita tahu, hewan tidak menabung makanan. Mereka hanya mengambil makanan yang dibutuhkan.
“Mungkin ia tak tega meninggalkan anaknya yang sedang menyusu. Atau mungkin anaknya sedang tidur..” Komentar dari kursi penumpang.
“Ternyata rasa keibuan itu bersifat hewani, ya. ” komentar ponakan saya yang menyetir mobil.
Baca juga : Kacang Jogo Kacang Merah Kaya Manfaat
Tiba-tiba kami semua merasa tidak rela ibu dan anaknya tidak dapat makanan. Mungkin karena  menatap  sang ibu melas menimbulkan reaksi kimia tertentu dalam otak kami. Lalu perasaan keibuan seluruh penumpang bangkit.
Kami berhenti untuk memberikan bagian ibu monyet di Kelok 44 ini. Penumpang pun berebut melempar kacang satu persatu ke arah ibu-anak itu.
Sayang, walau sudah berusaha keras, karena hanya menggunakan satu tangan sementara tangan lain tetap mendekap sang anak, kacang-kacang itu kebanyakan luput dari jangkauan. Tak menyerah, seorang penumpang merasa iba, minta turun.
Perlahan dia mendekat dengan maksud menyodorkan agar kacangnya lebih mudah ditangkap.
Tapi kera itu, seperti kebanyakan kita, dituntun oleh insting purbakala yang yang tidak mempercayai makhluk lain di luar habitatnya. Dengan mengapit sang anak, si ibu monyet di kelok 44 itu lari terbirit-birit. Ibu yang punya cinta tanpa syarat itu menjauhi kami kami. Dan kami pun menatap ekornya yang menghilang ke balik rimbu pepohonan dengan perasaan kehilangan 🙂
Salam,