Oleh: Evi Indrawanto
Akhirnya kemarin kesampaian juga ikut kelas Belly Dance di Gold Gym-Serpong. Sudah lama ingin belajar tarian ini, tapi tidak pernah benar-benar serius mencari tempat kursusnya. Berdasarkan tanya-tanya sekilas, kelas belajar belly dance yang serius tampaknya belum ada di Serpong. Tidak mengapa juga lah, gak penting-penting amat ikut kelas serius, emang mau dipakai di mana sih. Jika tujuannya aerobics sambil fun dan sedikit melenturkan pinggul yang di GG itu sudah lebih dari cukup. Syukur-syukur kalau bisa ikut melangsingkan perut. Itu bonus.
Sekalipun di kelas-kelas aerobics yang lain, pernah punya pengalaman mempraktekan gerakan-gerakan basicnya, begitu masuk kelas yg sesungguhnya, tidak mudah juga ternyata. Memang sih tidak da choreo yang kompleks, tapi mengerakan tubuh mengikuti beat padang pasir butuh stamina seperti unta. Sudah begitu seluruh persendian sepertinya perlu di ganti, begitu kaku seperti ASIMO (robot Milik Honda). Dan yang paling penting, tulang belakang wajib lentur seperti milik ikan pari, agar bisa meliuk-liuk, berputar-putar diayunkan musik.
Walau senewen, (terutama ketika pinggul mulai sakit) hentakan musik dan derai-derai pinggul yg dilingkari hip scarf milik teman-teman, membawa aku hanyut pada satu bentuk kehidupan yang pernah di tulis dalam National Geography secara cantik : Sensuality in The Desert . Terbayang pada sekelompok perempuan bercadar yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam tenda beralaskan karpet. Aturan-aturan sosial budaya yang mengikat mereka sejak kecil, tidak secara otomatis merenggut hasrat untuk mengekspresikan kefeminiman diri secara terbuka.
Perempuan adalah perempuan. Tak masalah seberapa keraspun usaha mengkerangkengnya, sensualitas perempuan itu akan selalu menemukan panggung ekspresi. Kalau tidak boleh di tempat umum, masih ada pestakeluarga, ada upacara panen, dan ada kelahiran bayi yang perlu disambut dengan meriah.
Sikap tubuh dan ayunan panggul dalam Belly dance tidak bercerita tentang sensualitas sebetulnya tapi lebih ke arah spirit. Kalau pun kemudian orang terpaku pada efek kebangkitan birahinya, mari kita berpaling kepada misteri alam, terutama yang bekerja dalam benak lelaki. Dia perlu dihindari tapi di dambakan di dalam. Tidak mengapa. Sensualitas adalah warisan Bunda Hawa kepada seluruh anak-cucunya. Tidak perlu ada keluhan bagi siapapun yang pernah jadi korban, lah Nabi Adam saja terpaksa terusir dari surga kok 🙂
Pagi-pagi, lutut, lengan atas dan betis sakit semua. Sepertinya hari ini seluruh otot perlu mengkerut mengistirahatkan diri. Di bawa bergerak mereka protes lewat rasa sakit. Haiyaaa..Ceritanya sama semua, segala bentuk permulaan selalu menuntut pengorbanan lebih. Yang jelas aku menemukan satu lagi oase untuk bergembira dengan sederhana. Alhamdulillah. Kalaupun tidak akan pernah ahli karena tulang-tulang sudah kelanjur mengeras (bahasa lain dari bentar lagi masuk tanah), berkeringat dan menenggelamkan pikiran saat mengikti musik-musiknya sepertinya akan sangat menarik. Dari sini aku bisa masuk ke abad-abad yang sudah lama lewat, mencoba menikmati dari dekat ritual-ritual perayaan kesuburan seperti yang di lakukan para perempuan Sumeria, Babylon dan Assiria sejak kurang lebih 4000 tahun sebelum kristus. Begitu kunonya! Tapi begitu moderen saat sampai di gym.
Menarik sekali temans!