Siapa yang pernah kecewa habis belanja online? Aku pernah, beberapa kali malah. Selama mengenal pasar maya, ada satu pengalaman yang paling menyebalkan yakni ketika belanja tas olah raga. Di foto barangnya keren dan baru. Tapi setelah barangnya diterima, eh jauh banget dari realita yang mereka coba gambarkan. Kalau perkara sedikit meleset dari warna yang sungguhnya bisa dimaklumi. Itu menyangkut resolusi camera dan layar komputer yang aku gunakan. Tapi tas olah raga yang aku incar itu, katanya baru. Di fotopun kelihatannya demikian. Hanya ketika tas tersebut sampai di rumah, tampak usang dan bekas pakai. Menurutku ini salah satu bentuk penipuan. Waktu dikomplain malah galakan penjualya. Dia bersikukuh bahwa itu barang baru. Kalaupun terlihat sedikit usang cuma gara-gara agak lama tersimpan gudang. Sejak tadi aku sudah mempertanyakan integritas orang ini dan rasa gondok kemudian membuat aku berteriak, “emang siapa yang elo bohongi?!” Klik!
Sejak itu tamatlah riwayat toko online tersebut dalam riwayatku.
Dan perkara tepu menepu ini memang bukan perkara baru di Indonesia. Ikan, ikan asin dan tahu berformalin masuk ke dalam kategori ini. Agar pembeli merasa bahwa ikannya segar walaupun telah mati beberapa jam lalu, di tuang lah zat yang tujuannya untuk pengwetan mayat. Soal apakah formalin itu berbahaya bagi kesehatan konsumen, siapa yang sempat mikirin, namanya dagang, orang dagang ya harus untung…
Itu kejadian di luar sana. Dari dalam lingkungan bisnis sendiri, mengurut dada dan memanjangkan usus wajib hukumnya. Perajin itu, petani itu yang di potret dunia sebagai kelompok termarjinalkan, tidak punya posisi tawar, punya daya kreativitas juga untuk membuat kami tampak tolol. Memang tidak terjadi di semua kelompok perajin . Dan demi menjaga agar permainan ini tidak ditiru perajin gula aren lain, tidak perlulah saya tuliskan disini. Saya lebih suka membiarkan dunia hidup dengan imajinasinya bahwa bahwa petani kecil adalah sekelompok orang-orang lugu. Sebab kenyataan di Indonesia memang lebih banyak yang seperti itu. Bila terdapat tkus-tikus kecil yang senang bermain dengan kami, kebetulan hanya oknum dan tidak banyak jumlahnya.
Kami bermain di gula semut aren organik. Karena tingkat higroskopisnya sangat tinggi yang artinya sangat mudah menggumpal, bekerja mempertahankan mutu keorganisannya membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Memang seorang entreprenur dituntut bersikap fleksibel, mengambil keputusan berdasarkan situasi yang tengah terjadi, tapi kami tetap tidak bisa menambahkan zat anti cacking atau memasaknya menggunakan gula pasir seperti yang dilakukan orang lain agar gulanya tetap berderai. Sebetulnya kami bisa melakukan hal tersebut karena tidak semua pelanggan kami membutuhkan gula semut berstatus organik. Hanya, walau omset akan naik berlipat-lipat, integritas keorganikan Arenga Palm Sugar nanti akan dipertanyakan. Nanti lah kalau sudah punya 2 pabrik akan kami pikirkan bermain di non-organik. Sayang memang, tapi nafas panjang seorang entrepreneur itu di tentukan oleh integritasnya. Demi itu untuk saat ini kami terpaksa melepaskan omset dari sana.
Begitu lah. Peluang untuk berperilaku buruk terbuka dimana-mana. Apalagi di dunia bisnis, sejak pagar makan tanaman, sejak itu itu pula garis haram-halal bisa dilengkungkan. Ingat kasus hangat yang baru saja ditenggelamkan video panas Ariel, Gayus Tambunan. Mengingat profesinya, mesti bapak ini tidak akan punya duit segudang di Bank. Kalau kemudian sebaliknya, pasti ada suatu cerita seru di belakangnya. Kalau rajin coba di googling, nyanyian Gayus berisi nama-nama corporate rakasa, milik –seperti Harry Potter memanggil Lord Voldemord — the name “You-Know-Who”. Mereka mencoba menyembunyikan angka-angka agar tidak terendus kantor pajak.
Kelakuan buruk seorang entrepreneur tidak hanya terjadi di Indonesia. Masih ingat kasus Enron kan? Atau Madoff yang baru saja ketahuan melakukan Ponzi Scheme dalam mengelola dana nasabahnya?
Dan benih kelakuan buruk satu perusahaan mulai ditanam ketika seseorang di dalamnya berkompromi terhadap integritasnya. Demi menekan biaya dan mempertinggi keuntungan mereka melakukan sesuatu yang mereka tahu seharusnya tidak di lakukan. Pertanyaan pentignya adalah, sampai berapa lama cara beroperasi perusahaan seperti ini akan bertahan?
Salam gula semut aren,
http://gula-aren.blogspot.com
http://gulasemut.blogspot.com