Ini cerita lucu dan benar-benar pernah terjadi, di suatu tempat (untunglah) di luar Indonesia. Seorang guru les beragama tertentu punya murid beda keyakinan. Merasa yakin bahwa sang murid tak akan punya kavling di surga dengan agama yang dianut sekarang, setiap bertemu dia berkhotbah betapa pentingnya manusia bertobat.
Nah pada suatu hari si murid menyampaikan pada orang tuanya bahwa keyakinan yang keluarga mereka anut salah. Orang tua mana yang tidak terbakar menghadapi konfrontasi semacam ini. Selidik punya selidik akhirnya si murid memberitahu dari mana datangnya ide tersebut.
Lalu datanglah si orang tua ke tempat si guru minta penjelasan dan menjelaskan bahwa agama yang mereka pilih sudah final, tidak perlu merecoki anak mereka dengan kepercayaan baru. Lantas dengan lugunya si guru menjawab: ” Saya kan hanya menyampaikan KEBENARAN, terserah situ mau terima atau tidak..”
Sekedar meramaikan ilustrasi, ada lagi cerita lucu, kali ini terjadi di sektor domistik . Pada ulang tahunnya, seorang istri menerima hadiah buket-buket bunga dari toko floris di seberang jalan. Tidak lupa setiap buket disisipi amplop berisi tulisan ucapan-ucapan manis dari sang suami. Sayangnya hari itu si istri tidak butuh bunga, apa lagi sebanyak itu. Dia perlu mentahnya untuk membeli sesuatu yang dia anggap lebih penting. Nah ketika itu dikatakan kepada sang suami, beberapa hari sebelumnya juga pernah, dan ucapan hari ini sebagai ulangan, dengan enteng sang suami menjawab, ” Lah aku kan hanya ingin menyenangkan hatimu, kok gak boleh sih?”
Perang dunia memang di mulai dari situ. Orang hidup di dunianya sendiri, menggunakan bahasanya sendiri, dan menganggap orang lain cuma ngontrak.
Persoalan seperti ini muncul dari dosa warisan bahwa individu selalu di motivasi oleh kepentingannya sendiri. Kedirian ini (semacam cara kita memandang diri sendiri) tercetak dalam DNA. Sukses melewati lorong-lorong evolusi sejak para pemburu di jaman pra sejarah, pemakan bangkai, pengumpul makanan, makhluk yang bisa bercocok tanam, generasi pencipta mesin-mesin industri, sampai ke gerombolan penggila sosial media seperti sekarang. Konsep kedirian tidak banyak berubah. Dipakai bukan saja untuk mengambil posisi di kehidupan, alat penting untuk melindungi hidup, juga sebuah pernyataan eksistensi.
Dan evolusi seni dan budaya tidak berhasil melenyapkannya. Lagi pula memang tidak perlu. Sebab diri yang padat oleh sifat-sifat egois bisa dijinakan lewat etika. Kode etik, hukum dan aturan sosial akan membebaskan manusia dari predikat hewan yang sadar diri. Ditambahkan lagi diri yang egoisme dibutuhkan dalam melawan kekerasan alam, binatang buas, dan sengitnya kompetisi.
Tapi nilai sebenarnya dari kemanusian terletak di tingkat seberapa jauh kita bisa membebaskan diri dari jeratan ego. Seberapa pandai kita memandang dunia. Kita bukan lah segerombolan hewan penuh konflik, di kendalikan desakan sex dari alam bawah sadar, dan punya perangai mendidih seperti yang digambarkan Freud.
Kalaupun memang ada, fajar kemanusian telah menerangi sisi gelap tersebut. Dan fajar itu memungkin kita duduk untuk mendengar suara-suara dalam kepala. Kita punya kemampuan untuk merefleksi. Ada sebuah kesadaran bahwa ukuran baju kita tidak bisa dipakaikan kepada semua orang. Pengalaman menderita membuat kita bisa merasakan rasa sakit orang lain. Kita punya kelenjar air mata untuk menunjukan rasa haru.
Jadi kegilaan akan kesenangan terhadap diri sendiri tidak harus berakhir dalam kutuk. Kita bisa memolesnya sedemikian rupah sehingga sisi positif kemanusian kita lah yang akan berkembang lebih luas. Lagi pula perkembangan peradaban lebih banyak berhutang kepada altruiseme ketimbang egoisme.
Salam,
— Evi