Berasa satu garis keturunan dengan Aris Toteles, maka ketimbang mengomentari arus lintas, setiap kali pergi kondangan saya lebih suka berpikir tentang kebahagiaan. Begitu pula saat menghadiri perayaan pernikahan di sebuah kampung di Banten minggu kemarin. Sejak awal sudah tahu ini bukanlah pesta pernikahan kaum berpunya. Ijab kabulnya di lakukan di musholla sederhana, pestanya di rumah sangat sederhana, dihadiri oleh orang-orang yang tidak kalah sederhana pula. Yang keluar dari tipikikal kesederhanaan hanyalah tawa mereka, satu-satunya kemewahan paling jelas terlihat siang itu. Tawa itu berderai-derai pecah bersama debu yang berterbangan di jalan di muka rumah.
Hidangangan gulai jantung pisang dan ayam goreng baduy yang eksotis, tidak menghentikan saya melamun. Betapa orang-orang sangat optimis terhadap hidup mereka. Tengok saja, di tengah banyak kekurangan, dengan enak mereka bercengkerama bersama kerabat dan teman-teman. tetamu datang dan pergi. Bertukar sapa sambil mencicipi hidangan ala kadarnya. Menanyakan perkembangan panen, bahan dagangan, sampai peluang kerja sebagai buruh di pabrik. Atmosfir tersebut mengamini apa yang saya pikirkan bahwa masuk ke gerbang pernikahan adalah soal kebahagiaan. Itu juga yang membuat saya dengan cepat larut dalam arus keriangan. Sampai tidak terasa perlu nambah ikan cuek cabe hijau. Ikan itu memicu kenangan kepada ibu di samping rasanya memang aduhai.
Orang menikah berlandas niat untuk bahagia. Setuju? Setuju. Boleh tanya kepada siapapun, apa ada niat orang menikah untuk menderita? Di dunia ini tidak satupun orang masuk ke lembaga perkawinan secara sukarela untuk maksud sengsara di dalamnya. Kalau sekedar sengsara banyak pintu yang bisa di masuki, ngapain perlu modal segitu gede. Lagi pula pesan moral dari ucapan selamat adalah kebahagiaan. Selamat menempuh hidup baru, selamat membentuk keluarga sakinah mawaddah war rahmah, semoga cepat dapat keturunan, dsb.dsb.
Seperti hidup, selain komitmen panjang, menikah juga butuh beberapa alasan. Salah satunya faktor agama. Agama Islam menetapkan pernikahan adalah kewajiban bagi yang sudah memenuhi syarat. Tidak maian-main perintahnya tersurat dalam Al Quran : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An Nuur:32].
Sementara alasan di luar agama banyaknya tak terkirakan. Orang menikah karena : Di desak secara sosial, di jodohkan, sudah capek hidup sendiri, merasa bertambah tua, teman-teman sudah menikah semua, butuh keamanan ekonomi, merasa tidak enak tinggal dengan orang tua terus menerus, menikah karena cinta dan percaya bahwa pasangan hidup akan membahagiakan mereka.
Memang pernikahan dunia moderen tidaklah sesederhana seperti yang terjadi di Banten, hari Minggu lalu. Tambah tinggi pendidikan, tambah makmur ekonomi, kian lebar bumi yang di pijak, tambah kompleks lah bentuk pernikahan yang terjadi. Walaupun sebagian besar pasti setuju bahwa sebuah pernikahan ideal harus lah di awali cinta, ini tidak serta merta membuat orang beramai-ramai meloncat ke dalam gerbongnya. Dari peristiwa sehari-hari, sepertinya, saya bisa membangun sebuah teori bahwa : Kemampuan melihat dunia secara luas berbanding terbalik dengan keahlian menyingkirkan dinding-dinding penghalang yang bercokol dalam pikiran.
Tidak ada yang salah juga sih jika pernikahan menuntut pemikiran dalam dan panjang. Sebab setiap orang berhak mengkases perkawinan yang bahagia tanpa memandang latar belakang sosial ekonominya. Untuk menemukan pasangan yang memenuhi kriteria personal memang butuh waktu disamping hati dan mata yang terbuka lebar. Apa lagi jika setelah menikah kita di tuntut untuk menutup sebelah mata, pastinya tak seorangpun berharap membeli kucing dalam karung kan?
Apapun lah! Sepanjang sejarah umat manusia, pernikahan telah membuat orang bahagia dan sengsara setengah mati. Jika kebetulan Anda sudah masuk ke dalamnya, tapi tidak beruntung, tetap berbahagia lah! Memang tidak sedikit persoalan hidup akan mampir yang beberapa diantara berujung pada realita pahit. Tapi tetap lah menjejak kan kaki ke sudut perpektif positif. Tetap lah tumbuh, yakin kepada Yang Diatas bahwa di setiap lorong ada ujung dan setiap persoalan ada solusi.
.