Saya ingin menulis tentang hedonism atau hedonisme, tapi tak yakin akan berakhir seperti apa posting ini nanti 🙂
“Kebahagiaan itu laksana intan berlian yang bertaburan di muka bumi, dimanapun di serakan mereka tidak kehilangan kehakikiannya dalam memantulkan cahaya. Ketika kilaunya memercik dari Alhambra sampai Cordoba, lantas mengapa engkau memilih untuk memungut kerikil tajam untuk diakrabi? Tidak kah kau tahu itu hanya akan mengotori dan melukai tanganmu?
Kalau tidak salah, itu salah satu kalimat yang aku cari dalam satu buku Rumi, pada suatu siang, disaat sedang kecewa. Bunyinya tidak persis sama, tapi kurang lebih ..begitu lah. Sudah kadung basah, mandi sekalian. Sudah terlanjur kecil hati, nangis Bollywood dulu dah. Ketimbang mengatakan everything will be okey, padahal tidak ada okenya, lebih baik sediakan saja waktu menghayatinya. Maka tengok kanan-kira, memastikan saja sinetron itu hanya aku, dinding dan Allah yang tahu, action…..
Asyik juga kalau di dramatisir sedikit. Yang terpikirkan hanya Kitaro. Seperti halnya kafilah, berangkatlah si gundah gulana menelusuri Caravansery, The Silk Road, Matsuri sampai ke Heavean and Earth. Apa sih yang penting dari peristiwa itu sehingga perlu mengeluarkan air mata? Kalau peristiwa seperti ini terjadi pada orang lain, apakah mereka juga menangis? Apa sih nilai-nilai yang tanpa sadar telah dianut sehingga peristiwa sepele menimbulkan rasa terluka? Puluhan pertanyaan lain melayang-layang membentur dinding benak hingga pada suatu ketika sesuatu terjadi. Seperti melihat lintasan kilat bintang di langit, sesuatu menyusup ke dalam kesadaran dan pecah di sana.
Duh gue yang hedonis!
Mestinya kesederhanaan hukum alam tidak kemana-mana. Ketika mendaki, gravitasi akan menarik ke bawah. Tapi manusia selalu punya pilihan, membiarkan diri terhempas atau bangkit dan mencari jalur pendakian baru. Bukan tanpa sebab bila kepercayaan dari suku-suku bangsa kuno menganggap bahwa dewa-dewa tinggal di atas gunung dan di pucuk-pucuk pohon tertinggi. Itu juga sebab masyarakat Hindu -Bali lebih suka membangun tempat-tempat ibadah di atas bukit. Karena ketinggian bukan saja tempat sempurna bagi berlangsungnya pertemuan antara manusia dan dewa, tapi ketinggian adalah satu-satunya alasan mengapa menara dibuat. Tempat yang menawarkan keleluasaan, cakupan sudut pandang dimana empat penjuru mata angin dapat diawasi seketika.
Ya, aku harus melihat persoalan yang sedang diratapi itu dari atas!
Terbang meninggalkan bocah kecil yang sedang terkurung mengashi diri sendiri itu saja sudah menimbulkan tawa. Mantra syair bahwa kebahagiaan itu laksana intan berlian yang bertaburan di muka bumi, sekarang tampak kian jelas. Berikan sedikit gula, sentuhan imajinasi, maka padang berlian itu kini bisa di pilah-pilah. Eksstra vaganza sampai sederhana, it’s your choice.
Memiliki segalanya yang dapat di beli uang tentu saja adalah satu bentuk kebahagiaan. Pergi berlibur bersama keluarga, naik kapal pesiar, trip ke luar negeri tiap tahun, tinggal di rumah mewah berikut perlengkapan transportasinya, sudah barang tentu impian hampir sebagian besar penduduk bumi. Kalau tidak mana mungkin ekonomi capitalis begitu subur seperti di era ini. Belum lagi asesoris yang mengikutinya, bersembunyi dalam kepongahan yang tidak perlu diakui. Seperti kita terpaksa merasa lebih cerdas dari mereka yang hidup pas-pasan. It’s okey bila anak-anak kita melakukan kesalahan, namanya juga anak-anak. Tapi anak-anak dari orang tua tak berduit, jangan coba-coba, kalau tidak mau menerima label tidak tahu diri, sedikitnya kesalahan adalah ketololan besar. Satu bentuk ekstravagaza dari rasa bahagia. Mungkin itu sebab sebagian orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Tampaknya yang disebut kebahagiaan bukan seperti itu. Sekalipun dia tetap berbicara dalam konteks kepemilikan, memasukan unsur uang ke dalamnya seperti mencelubkan setitik nila ke dalam susu sebelanga. Kalau taburan berlian diteropong lewat lensa materi, bukankah sama saja mengundang Machiavelli bangkit dari kuburnya? Menambatkan materi pada kebahagiaan akan memaksa kita pulang, kembali pada anak kecil yang takut pada dunia luar lalu terpaksa memenjarakan diri di tempat sempit lewat penghibaan diri.
Kebahagiaan lebih kepada soal kepandaian dalam mengelola batin. Coba amati lewat teori ini: bila kebahagiaan adalah kesenangan, kenikmatan, kepuasan, kegembiraan, pelesir, kelezatan dan kedamaian hati, apakah itu semua harus tersangkut dengan uang?
Bila konten kebahagiaan seperti hal-hal diatas , bukan kah mereka seperti Coca Cola, tersedia dimana dan kapan saja. Temukan mereka pada kehangatan mata hari pagi, pada getar kelopak mawar merah sesaat tertimpa rinai gerimis, pada tawa anak-anak, pada pelukan hangat mereka, pada sebungkus gado-gado oleh2 dari bepergian, pada kelas-kelas aerobics dg musik berdentam-dentam, pada telepon ibu setiap hari yang menanyakan apa kabar hari ini (dagangannya laku apa enggak?), bahkan pada sebait puisi yang bergema dari masa lalu.
Begitu sederhanya. Hm, benar juga kata Om Abraham Lincoln: Most people are about as happy as they make their minds up to be. Miss Evi harus belajar lebih banyak lagi tentang hidup.
Salam bahagia penuh berkat,
— Evi