Memenuhi keingin berbagi bari para petani, perajin gula aren serta karyawan Arenga berangkat lah kami ke Pasar Cipulir. Sekalipun relasi bisnis sudah terjalin baik selama ini, merasa lebih pas jika mampu memberi sesuatu dalam merayakan lebaran. Suatu hadiah sederhana di luar kewajiban dan rutinitas.
Cipulir menjelang lebaran bukan main padatnya. Kami kembali berhitung. Untuk sekitar enam ratusan lebih petani dan 12 orang karyawan membeli souvenir sederhanapun ternyata bisa menegangkan budget yang ada. Sekalipun Cipulir terkenal sebagai pusat grosiran tekstil murah ternyata tidak cukup murah juga.
Namun kami bertekat setiap orang harus dapat hadiah. Dengan pemikiran ini perburuan pun di mulai. Sarung, baju koko, T-Shirt dan sajadah disigi satu persatu. Aku membayangkan alangkah bahagianya jika bisa memberikan setelan lengkap sholat Id seperti kopiah, baju koko, sarung dan sajadah pada setiap orang. Betapa rapinya jika setiap petani aren binaan kami menggunakannya di pagi hari raya Idul Fitri. Kami tak berharap berkah ataupun pahalanya. Hanya berharap perlengkapan baru tersebut menambahkan nilai kegembiraan Idul Fitri.
Memilih Sesuai Budget
Setelah mengetahui harga rata-rata perkodi barang yang dibutuhkan, baru tahu bahwa rencana memberikan satu setel perangkat sholat Id bisa dieksekusi tahun ini. Sejumput kesedihan menelusup ke hati. Kalau saja kami orang kaya…Rupanya suami tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Mudah-mudahan tahun depan ya” katanya pelan. Amin ya Allah sambutku dalam hati.
Sementara Indra membongkar tumpukan sarung, baju batik dan kopiah aku mengalihkan perhatian ke suasana sekitar. Tidak perlu seorang jenius untuk merasakan denyut ekonomi yang beralangsug di tempat itu. Masif dan bergelora. Lorong toko yang sempit, sumpek oleh tumpukan barang dan arus lalu lintas pengunjung. Beberapa orang kuli panggul berteriak-teriak minta jalan. Alhamdulillah di Cipulir berkah Ramadhan itu bukan kata-kata kosong belaka.
Kedatangan ke pasar yang terdapat di Ciledug ini tahun ke-2. Rasanya seperti sudah mengenal pasar ini bertahun-tahun. Produk yang dijual dan para penjualnya melayangkan kenangan pada Pasar Atas – Bukittinggi, kota kelahiran dan asal seluruh nenek moyang saya. Sebab ke toko manapun kaki melangkah terdengar bahasa Minang. Jangan-jangan pedagang Cipulir ini orang Minang semua, pikir saya seramgpangan.
Konsep Pasar Grosir
Konsep pasar grosiran memang berbeda dengan mall. Toko berfungsi secara organik yakni sebagai tempat menaruh dan memajang barang. Tiada seni penataan. Tiada lampu-lampu yang menarik. Dan tiada pula penyejuk ruangan yang akan membuat pengunjung betah belanja berlama-lama di dalam. Tidak terkecuali service. Disini jarang ditemukan SPG cantik yang tersenyum ramah menyambut tamu. Sekalipun yang menjaga toko kebanyakan adalah pemilik, konsep bahwa pelanggan adalah raja tampaknya juga tak berlaku di sini. Service seperti Dinosaurus, pernah dengar, pernahlihat fotonya tapi mengapa tiba-tiba punah tidak ada yang tahu.
Di sebuah toko saya menanyakan kualitas sarung yang hendak di beli. Apakah mengkerut setelah di cuci? Tanpa tersenyum si penjual menjawab, ” mana tahu, saya belum pernah memakainya. Ibu mencari sarung sesuai budget ya saya tunjukan itu lah barangnya. Kalau soal kualitas ada harga ada barang….” Makjleb!
Rasanya pengen deh mendaratkan gamparan ke muka bapak berkumis itu. Untung pak suami langsung membaca gelagat. Sebelum lidah saya membuat kecelakaan buru-buru ia berkata, ” Maksud istri saya Bapak kan lebih berpengalaman, mungkin saja Bapak tahu..”
Lama sekali gondok saya baru hilang. Waktu menulis ini pun masih marah. Entah budaya bisnis apa yang dipakai Bapak itu. Sudah muak dengan segala macam basa-basi barang kali? Toh dengan muka menyebalkan seperti itu bisnisnya tetap lancar. Di samping saya saja sudah nyundul yang memaksa saya minggir dengan badan besarnya.
Tapi sudah lah. Tidak baik membicarakan keburukan orang..Apa lagi dia tidak akan membaca tulisan ini. Semoga saja dagangannya tetap laris manis..Amin
@eviindrawanto