Sesaat setelah duduk dihadapan CS sebuah bank," Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, bu?" Sapannya sopan dengan intonasnyai pas dan senyum mengembang. Begitu pula tatapan mata yang lurus ke depan yang memastikan dia siap membantu memecahkan masalahku.
Setelah menceritakan bahwa kartu ATM tertelan mesin gara-gara lupa pada nomor PIN sendiri tapi nekat meneruskan mencet-mencet (lebih sering menggunakan internet banking soalnya), dengan cekatakan dia menulis sesuatu. Aku pikir urusan segera selesai. Dia pun tersenyum kembali. Hanya saja bunyi kalimatnya kemudian membuat darahku mendidih. Dia telah mencatat keluhanku dan akan membuat laporan. Dalam beberapa hari kemudian aku bisa mengambil kartu tersebut di bank dimana aku membuka tabungan.
Pret!
Aku mendesak dan mengatakan bahwa kartu itu tertelan di mesin yang lokasinya hanya berjarak 15 meter dari tempat kami duduk. Bila petugas yang akan membuka mesin dan mengambilnya nanti juga tidak di lakukan dari tempat lain tapi persis di mesin yang ujudnya langsung bisa kami tatap saat itu. Lah mengapa harus menyusahkan aku dengan mengambilnya di kantor dimana aku membuka rekening yang jaraknya ratusan kilometer dari situ.
Dengan naiknya suhu darahku tentu saja atmosfir jadi hangat. Untungnya aku tidak pernah berminat beragumentasi dengan kebodohan. Bila itu memang prosedur bahwa kartu yang tertelan mesin bisa diambil di tempat buka rekening, aku bisa minta penjelasan pada managernya bahwa peraturan seperti itu mestinya tidak berlaku di tempat itu. Kalau tertelannya di mall atau di luar kantor bank , aku juga tidak keberatan mengambilnya di tempat sesuai saran mereka.
Setelah beberapa saat berada di dalam dan sang manager tidak merasa perlu menampakan muka, si CS keluar kembali. Keputusannya sesuai keinginanku bahwa aku bisa kembali ke tempat itu untuk mengambil kartu atm yang tertelan itu.
Aku manggut. "Ada lagi yang bisa kami bantu, bu?" Sambungnya. Masih terseyum. Tapi insting primataku mengatakan lebih baik menonjok muka manis itu dari pada mengucapkan terima kasih. Pantas banget untuk manusia gegabah seperti dia! Untungnya sisi terpelajarku lebih dominan dengan membalas senyumnya yang tidak kalah formalnya. Aku mengatakan tidak dan mengucapkan terima kasih. Tanpa melihat ke kacapun tahu senyum seperti itu pasti membuat cicak-cicak di dinding lari ketakutan. Apa boleh buat, untuk yang ini aku tidak bisa membantu.
Menurut penelitian 90% dari apa yang kita komunikasikan pada orang lain tidak datang dari mulut. Intonasi suara berperan sebesar 30% sementara bahasa tubuh mengambil porsi 60%. Jadi apa sesungguhnya yang kita katakan lewat kata-kata hanya bernilai 10 % . dari seluruh komunikasi yang dilakukan.
Peristiwa ini membuatku mengerti mengapa tidak terlalu suka pada segala bentuk ke ramah-tamahan seperti yang dilakukan CS bank tersebut. Rupanya mereka hanya mengandalkan intonasi dan kata-kata. Kalaupun menggunakan bahasa tubuh yang terbaca hanyalah mereka sedang menjalankan tugas. Ada aturan dan SOP-nya. Tidak aneh kalan kalau kemudian aku merasa sedang berhadapan dengan robot formalitas dan dingin.
Mestinya tidak harus begitu. Mereka corporate besar pasti punya dana berlebih untuk mendidik seluruh jajaran management tentang komunikasi. Ada aturan-aturan tidak tampak, tidakbisa dituliskan tapi terjadi saat dua atau lebih orang berkomunikasi. Salah satunya adalah berempati di level tertentu. Yah berempati memang tidak sulit, tapi menakar dalam kadar cukup untuk kondisi sesuai memang tidak bisa dipelajari begitu saja di tempat training. Pemainnya harus lah terasah lewat pengalaman
Aku pikir, itu yang membuat mengapa lebih enak menerima salam dari Mang Udin tukang sayur keliling ketimbang senyum-senyum manis dari CS atau Teller bank. Mang Udin tidak punya cara untuk berpura-pura dan dibuat-buat. Jadi kalau dia tersenyum, tawanya datang langsung dari dalam hati. Hanya itu yang dia tahu.
–vi
06.09.2010