Mudah saja tenggelam dalam suatu pekerjaan, terutama bila pekerjaan tersebut mendatangkan rasa nyaman, tidak di recoki dan hasilnya langsug kelihatan. Seperti pekerjaan dalam rumah tangga, kalau saja tidak kelelahan dan memikirkan pekerjaan kantor, aku bisa menghabiskan waktu 24 jam sehari dan hanya berkutat seputar rumah. Itu bukan karena peribahasa rumahku sorgaku, melainkan di rumah aku merasa dapat menyentuh jiwa, masuk ke relung-relung terdalam yang telah membantuk siapa dan apa diriku sekarang. Itu lah diri yang organic, tanpa embel-embel, ada karena dirinya sendiri.
Tapi tak masalah bagaimana sederhananya sebuah keinginan, menjadi perempuan yang hidup di era modern hampir mustahil memperoleh“ ape kate gw dan elu cuma penumpang”. Itu gara-gara kehidupan sosial telah melekatkan begitu banyak peran ke diri kita. Di mulai sejak lahir bahwa aku adalah anak seseorang, cucu seseorang, kakak atau adik seseorang. Besar sedikit dan melangkah keluar, aku adalah murid dalam satu atau 2 institusi. Kemudian melebar lagi, aku adalah kerabat, kenalan dan teman seseorang. Masuk ke institusi formal lainnya, aku adalah rekan kerja dan bawahan seseorang. Menikah dan membentuk keluarga sendiri aku kian tenggelam dari identitas asli dengan menjadi istri dan ibu seseorang. Kemudian lagi aku adalah rekanan, competitor, pelanggan dan supplier seseorang.
Setiap segmen dalam kehidupan sosial punya aturan main sendiri. Aturan main itu telah disepati bersama dan punya perangkat punish and reward untuk menjaga keberlangsungannya. Dalam aturan-aturan sosial masyarakat Indonesia, contohnya, atau etika Timur menurut orang, adalah mustahil memanggil orang tua, guru atau atasan dengan nama-nama mereka saja. Itu tidak sopan. Sebagai anak, murid dan bawahan, derajatku lebih rendah, aku harus memanggil mereka dengan pangilan-panggilan terhormat seperti Bapak atau Ibu.
Namun dalam peran sosial yang lain aku lebih terhormat. Sebagai kakak, Ibu atau atasan mereka yang berada dalam jaringan sub-sosial dengan memanggiku kakak atau Ibu.
Begitu seterusnya.
Diri kita yang satu tapi terbagi-bagi dalam seribu wajah. Semakin menonjol peran dalam masyarakat semakin banyak pula peran yang mesti di emban. Dan ini disebut normal oleh kebudayaan.
Normal mungkin tapi kadang kala melelahkan. Bagaimana tidak, kita harus membagi-bagi energy antara peran yang satu ke peran yang lain tanpa pertanyaan. Kita bukan superman tapi harus pandai menempatkan diri sedemikian rupa untuk menopang struktur yang seperti rumah kartu itu. Bagitu satu kartu tercabut, rangka akan rubuh lalu terjadi terjadi kekacauan. Makhluk sosial ini yang nyaman dalam keteraturan berusaha keras agar tidak mencabut satu kartupun.
Begitu lah yang selalu terjadi. Ketika ada saat-saat dimana kita harus menangis sendirian tapi terpaksa tertawa bersama karena peran sosial memintanya demikian.
Lalu, oleh satu dan beberapa sebab seseorang bisa tidak peduli apa peran sosial yang di sandangnya. Dia akan tertawa atau menangis kapanpun diri meminta, tidak peduli tempat atau waktu, sebab yang dia pedulikan adalah suara-suara yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Begitu pula tatkala ingin berpakaian, dia dapat mengikuti kemanapun imajinasi menuntun, tidak peduli apakah pantas atau tidak menurut standar yang berlaku secara umum. Hanya satu yang aku tidak yakin, apakah dia bisa bercinta dengan orang tercintanya ketika membutuhkannya. Kecuali pasangannya disebut umum orang gila pula, rasanya tidak ada jalan bagi pecinta diri sejati ini bercinta dengan kekasihnya. Tapi ah kemalangan seperti ini tidak hanya berlaku bagi orang gila kok!