Saya termasuk yang percaya bahwa seharusnya kita adalah apa yang kita katakan. Sudah membutikannya cukup lama. Berkaitan dengan pengalaman waktu kecil yang pernah dijuluki si judes yang berlidah tajam. Si lidah tajam biasanya sering dapat masalah. Karena sering melontarkan apa saja yang terlintas di pikiran tanpa proses saringan. Misalnya, sewaktu pelajaran agama diajarkan bahwa perempuan harus menutup auratnya. Aurat itu adalah sesuatu di tubuh perempuan yang membangkitkan rasa suka pada lelaki. Jadi agar lelaki tidak suka perempuan maka perempuan harus menutupi tubuh dan rambut mereka.
Nah ketika suatu hari menemani ibu ke pasar, saya melihat seorang nenek-nenek menggunakan busana dan kerudung secara berbeda dari ibu-ibu kebanyakan. Bajunya lurus dari atas ke bawah ( belakangan baru tahu kalau itu disebut gamis), terus kerudungnya menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Lantas aku berbisik kepada Ibu, “ emang ada lelaki yang akan suka pada nenek-nenek seperti ini?” Rasa sakit karena disikut ibu menghentikan petualangan lidahku selanjutnya. Padahal aku ingin sekali mengatakan kalau rambut penuh ubanan bisa membuat seorang perempuan menjadi penyebab masuknya lelaki ke neraka, entah siapa yang pantas disebut gila.
Lalu ketika kami diangkut Bapak seluruhnya pindah ke Jakarta, kami tinggal di sebuah gang padat dan kumuh di bilangan Kramat Sentiong. Kami bertetangga dengan sebuah keluarga dimana kepala keluarganya jadi ketua RT.Dalam pendapatku, kalau dia sudah berjabatan ketua mestinya jauh lebih kaya dari keluarga kami. Nyatanya seminggu sekali aku melihat Bu RT pinjam kalau bukan beras pasti uang kepada Ibu. Nah karena Ibu sering mengeluh karena harus berbagi uang belanja dengan tetangga, suatu hari Bu RT muncul lagi di muka pintu, aku langsung menyergap “ Ibu Kus hari ini gak boleh minjam, soalnya ibu juga tidak punya uang..”
Sekalipun tetap dapat omelan sebagai anak lancang mulut di depan Bu Kus, aku tahu ibu merasa di selamatkan oleh lidahku. Apalagi sejak kejadian itu Bu Kus tidak pernah muncul lagi di depan pintu kami sebagai nasabah.
Tapi lidah lebih sering mencemplungkan aku ke dalam masalah ketimbang memecahkannya. Aku pernah di permalukan dengan berdiri di muka kelas dengan mengangkat satu kaki ketika tertawa melihat perut Pak Abdullah yang buncit turun naik sewaktu bicara dalam pelajaran Berhitung. Ketika ditanya apa yang lucu, aku gelagapan dan tidak tahu harus mengarang cerita apa, maka terpaksa berterus terang.
Aku juga pernah mendapat tekanan psikologis luar bisa gara-gara bermaksud jadi pahlawan kesiangan . Gara-gara peristiwa itu kepala sekolah perlu bertemu muka denganku.
Itu bermula pada suatu hari ketika seorang anak lelaki kepikiran menjadikan laci meja guru sebagai bak sampah dari hasil menyapu lantai. Aku tidak ingat pelajaran apa, tapi ketika itu adalah giliran Bapak yang lemah gemulai (dapat julukan banci juga ) masuk kelas. Entah setan apa yang menorongnya begitu bersemangat hari itu. Dia laci itu dengan tenaga penuh sehingga kotak laci tercerabut dari tempat dudukannya. Dengan begitu selamat lah hasil karya kami berhamburan ke lantai.
Seketika situasi langsung tegang. Pak guru itu berkecak pinggang dan meminta penjahatnya maju ke muka. Tunggu punya tunggu tidak ada yang bergerak dari bangkunya. Detik berganti ke menit, lalu ke jam, tapi tetap tidak ada yang terjadi. Pak guru gemulai juga mengancam jika tidak ada yang mengaku maka seluruh kelas akan di skors. Maka muka-muka orang suci mulai melirik-lirik kami. Tentu mereka tidak ingin kena getahnya sementara yang makan nangka cuma berlima. Bahkan ketika jam pelajaran baru tibapun guru berikutnya terpaksa menunggu di luar karena Pak Banci semakin tidak puas melihat kebungkaman kami. Aku beberapa kali melirik kepada si pembuat ide, tapi seperti anak baik-baik lainnya dia sibuk mencoret-coret sesuatu di bukunya, menghindar kontak mata denganku.
Pikirku, seseorang harus mengakhiri penderitaan tersebut. Maka perlahan-lahan aku bangkit dan maju ke muka. Harapanku adalah ke-4 orang lainnya mengikuti dan mempertanggung jawabkan perbuatan kami bersama-sama. Tapi cibiran Pak Banci yang membuat aku hampir menangis memandangnya tidak membuat teman-teman yang lain merasa iba lalu turun tangan membantu.
Sampai akhirnya aku di gelandang ke ruang kepala sekolah, semua orang tampaknya sepakat bahwa satu penjahat saja sudah kebanyakan hari itu. Aku menunggu-nunggu mereka bertanya siapa aliansiku, tapi sampai mataku bengkak menangis pertanyaan itu tidak pernah muncul. Sekarang siapa yang banci, pikirku menerawang….
Begitu lah dari kecil saya belajar bahwa tidak semua orang mau bertangung jawab terhadap perbuatan mereka sendiri. Dimataku saat itu mereka tak berharga, tak jujur dan amat pengecut!