Walaupun menganggap diri positif ternyata belum terlalu positif. Terutama terhadap diri sendiri. Kadang merasa aneh, kok mudah banget melihat kebaikan dalam diri orang lain lalu memujinya tapi jarang menengok ke dalam apakah disana memerlukan pujian juga atau tidak. Saking konyolnya jika sesuatu berjalan tidak semestinya kadang suka memaki diri sendiri, " uh blo'on banget sih lu Vi…atau payah banget deh…!"
Yang seperti ini mestinya bukan pengalamanku pribadi. Apa lagi mereka yang tumbuh bersama budaya suku-suku di Indonesia yang meletakan istilah "menepuk dada" sebagai konsep berkonotasi negatif. Anak-anak yang mengatakan diri mereka hebat secara terang-terangan jarang mendapat sambutan positif dari lingkungan. Reaksi spontan dari teman-teman sebaya bisanya akan disebut sombong. Kalau yang mendengar orang dewasa akan datang banjir nasihat bahwa anak yang santun harus rendah hati dan tidak boleh menonjolkan diri. Belum lagi bisik-bisik di belakang pintu yang akhirnya membuat orang melupakan satu hal amat penting bagi kesejahteran batin yaitu: Memuji diri sendiri
Memuji diri sendiri, meletakan penghargaan tinggi terhadap diri sendiri tidak ada hubungan dengan keangkuhan. Ini hanyalah soal meletakan hal yang patut di tempatnya. Bisa diberi sentuhan sombong jika maksudnya hanya sekedar minta pengakuan, ingin dikagumi atau mempersandingkannya dengan orang lain dalam rangka merendahkan.
Jadi sebelum menulis note ini tadi saya sudah melakukan satu hal yang menimbulkan perasaan nyaman sampai besok pagi. Tidak meluk-meluk diri sendiri seperti orang gila, tapi me-review hasil pekerjaan "besar" yang bisa saya tuntaskan hari ini.
Ada empat invoice yang sudah hitungan bulan terkatung-katung tanpa ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Sebelumnya saya paling benci menjadi debt collector. Tapi ketimbang membiarkan invoice tersebut terus menggaruk-garuk mata setiap kali buka folder, tak putuskan saja memulainya dari satu perusahaan. Menelepon dan bicara dengan bagian keuangannya. Dengan kesabaran ala malaikat, saya telusuri alasan demi alasan dalam logika mereka, yang akhirnya membuat saya bertemu suara dengan si big boss.
Memang belum dibayar, tapi bicara dengan pengambil keputusan nuansanya emang beda bila bicara dengan karyawan. Kita gak perlu menekan-nekan urat leher atau mengusap-ngusap dada tapi lebih menunjukan titik terang. Lagi pula kok lebih mudah menerima alasan yang diberikan si bos ketimbang mendengar argumen-argumen "terlalu maksa" dari para pegawai.
Mulusnya usaha ini, mungkin juga karena si bos perlu jaga image, lah kok di tagih-tagih hutang sama ibu-ibu. Tapi apun lah, pokoknya pekerjaan siang tadi sangat menyamankan batin 🙂
Besok akan melakukan hal serupa untuk perusahaan berikutnya. Sesama pengusaha UKM kok jiper sih nagih haknya sendiri. Wish me luck…