“Feelings are not supposed to be logical. Dangerous is the man who has rationalized his emotions.” David Borenstein quotes — Foto source
Dari kemarin berperasaan tidak menentu. Antara sedih, gembira dan hampa berkecamuk jadi satu. Shalat hanya meredakannya sejenak untuk kemudian tenggelam kembali ke dala pusaran rasa serupa. Karena butuh seseorang untuk jadi tempat sampah akhirnya telepon Bapak .
Alasannya cuma menanyakan kabar beliau dan Ibu. Tapi 40 tahun lebih berpengalaman sebagai bapakku, dia veteren, langsung membaca tanda-tanda dan tahu persis kemana arah angin bertiup. Yah katub emosiku yang selalu longgar itu langsung terbuka. Itulah sebab selalu menghindari telepon ibu untuk saat-saat seperti ini. Aliran berbagai perasaan campur aduk dari ruangnya yang sempit menuju katub-katub pelepasan, akan membuat ibu tidak akan enak tidur dan makan. Nasipun pasti akan rasa sekam. Ibu tidak akan diam mendengar suara tertahan-tahan menahan isak, dia pasti membuatnya lebih seru dengan menangis duluan. Jadi paling aman emang bicara dengan Bapak.
Apa yang terjadi? Bapakku yang baik seperti bapak-bapak yang baik lainnya di dunia beranggapan bahwa air mata adalah tanda-tanda masalah besar, kesulitan dan ketidak bahagiaan. Terutama ketika itu datang dari anak-anak dewasa mereka. Air mata cengeng hanya ketika kami masih kanak-kanak. Air mata dewasa adalah penderitaan.
Dengan asumsi ini, terbayang bagaimana rusuh perasaan beliau menerima telepon seperti ini? Dia terus menerus menanyakan ada masalah apa? Mengintograsi keadaan suami, anak-anak dan bisnis kami. Sementara memang tidak punya masalah di ketiga bidang tersebut, apa yang harus aku katakan selain melempar ke salahan pada pekerjaan yang menumpuk yang bikin capek dan mood jelek?
Begitu lah manusia, terlahir dibekali seperangkat alat oleh Allah SWT yang salah satunya disebut emosi. Perangkat ini seperti pacul di tangan petani, digunakan untuk merambah alam, modal hidup, agar bertahan dari segala bentuk ancaman marabahaya. Mungkin itu sebab mengapa emosi adalah perangkat paling banyak di salah pahami oleh pikiran manusia. Tapi satu fakta yang tak bisa dieliminasi, berbagai macam konflik yang terjadi di kehidupan pribadi maupun sosial berasal dari sana.
Mari beranalogi. Emosi itu ibarat tanki gas yang inputnya datang dari berbagai macam pengalaman. Berupa reaksi akibat rangsangan yang dirasakan oleh seluruh panca indra. Contohnya adalah kita akan lari atau diam membeku ketakutan saat melihat tiba-tiba ada ular di dapur. Reaksi emosi terhadap rasa takut berbeda untuk setiap orang. Tergantung jenis pengalaman yang tersimpan dalam gudang memori mereka.
Dan itu itu di tingkat primitif, berlaku pada manusia dan hewan. Sementara manusia juga bereaksi terhadap rangsangan dari pemberian makna secara social. Berlangsung sepanjang kehidupan. Apa lagi bagi kita yang hidup di era digital, saat ini antara kehidupan offline dan online jaraknya tidak selalu jelas. Melihat saja pada status FB, ada yang berantem gara-gara tersinggung merasa status teman yang nyelekit sedang sedang berbicara tentang diri mereka.
Jadi dalam satu hari saja kita di terpa oleh jutaan informasi yang ujung-ujungnya akan merangsang emosi, baik positif maupun negative. Potongan-potongan informasi kita maknai, otak bereaksi terhadapnya dan hasil dari reaksi-reaksi tersebut langsung masuk ke tangki.
Idealnya aneka gas yang menumpuk itu harus dilepaskan kembali, mengalir lewat saluran-saluran lain agar tanki tetap ringan dan tidak meledak. Hanya saja umat manusia menempati suatu ruang hidup dengan setting tertentu. Tuntutan untuk berwibawa membuat orang tidak bisa cengengesan sembarangan. Tuntutan profesi atau jabatan tidak bisa membuat orang bicara sembarangan. Begitu pula dengan tuntutan etika, pranata sosial, bahkan kemampuan berampati membuat orang tidak bisa mengeluarkan perasaan sembarangan.
Dalam setting sosial ini, berbagi perasaan – merupakan konten terbesar dari emosi, ibarat membuang kentut. Kecenderungan pertama adalah orang menahannya. Sebab membiarkan satu saja tergelincir akan mengganggu ketentraman lingkungan, akan menarik perhatian orang yang kurang baik terhadap anda, dan besar kemungkinan akan membuat orang lain di dekat Anda juga tidak nyaman.
Kebiasaan untuk menahan perasaan tersebut telah disosialisasikan sejak lahir. Intensitasnya meningkat kala masuk sekolah. Inilah yang membangun fakta tak terbantahkan bahwa seperti itulah kebenaran umum, seperti itu lah seharusnya yang terjadi. Pertimbangan sosial misalnya mengharuskan kita tetap tersenyum walau di dalam sedang berlangsung pertempuran antara si baik dan si jahat. Perkelahian memuter-muter usus dan membuat jantung seperti di rendam bumbu pedas sebelum dikremasi.
Tapi bagaimanapun gas beracun ini harus di lepas. Menahan dan menumpuknya amat berbahaya. Akan menimbulkan berbagai ketegangan yang dalam waktu lama tidak hanya berefek psikologis tapi juga fisiologis berupa kedatangan aneka penyakit. Seperti ledakan gunung merapi, lahar tidak begitu saja tiba-tiba muncrat keluar. Magma itu memerlukan waktu memadat secara volume lalu melepaskan energi dengan meledak. Begitupun orang tidak begitu saja gila tiba-tiba. Itu akibat ketegangan emosi terus menerus yang tidak tersalurkan sebagaimana mestinya.
Beruntung lah bila anda memiliki orang-orang tercinta. Percayakan perasaan-perasaan terdalam Anda kepada mereka, baik itu berupa kebahagiaan atau kekuatiran an, ketakutan dalam mengarungi hidup. Menangislah kalau memang harus menangis, tapi setelah itu jangan lupa: Tertawalah!
Laughter gives us distance. It allows us to step back from an event, deal with it and then move on. ~Bob Newhart
Allahu ‘alam bishawab