Dalam masyarakat ada beberapa hukum yang diterapkan ketika wanita tumbuh menjadi perempuan dewasa. Faktor  biologis seperti rahim dan payudara jadi  sumber ide berbagai bentuk hukum dan aturan yang diterapkan kepada mereka. Tidak hanya di Indonesia tapi aturan sosial itu berlaku di seluruh dunia. Bentuk dan cara penerapannya saja yang berbeda.
Asal-Usul Label Wanita Dewasa
Seperti menjadi perempuan dewasa berarti harus mengandung. Maka lahirlah hukum-hukum yang mengatur peran sosial, ekonomi, hubungan kekerabatan dan banyak lagi mengikuti faktor biologis tersebut.
Mengandung membuat gerakan perempuan dewasa melambat. Ini lah yang membuat mereka diposisikan sebagai mahkluk lemah. Setidaknya pada zaman dahulu kala.
Saat-saat menunggu kelahiran , menyusui dan merawat bayi, membuat perempuan tidak bisa berburu mencari makanan. Ia terpaksa mengandalkan anggota kelompok untuk memenuhi nutrisi. Ini lah penyebab mengapa perempuan jadi difitrahkan sebagai mahkluk domestik feminim. Itu berarti harus jinak pada dinamika maskulin.
Baca juga:
Perempuan Dewasa dan Revolusi Bercocok Tanam
Sejarah mencatat bahwa rahim dan payudara adalah alat revolusi sosial. Yang paling awal dari masyarakat berpindah (nomaden) menjadi masyarakat menetap. Rahim dan payudara penyebab diketemukannya sistem bercocok tanam dan pertanian.
Karena menjadi perempuan dewasa dengan alat biologisnya itu tidak memungkinkan hidup terus menerus di alam terbuka. Maka mereka mencari gua untuk melahirkan dan merawat bayi.
Menetap di gua berarti disana tidak selalu tersedia binatang buruan untuk makan. Karena itu perempuan dewasa mencari tempat tinggal di tepi sungai. Dan sungai tidak hanya menawarkan ikan yang berlimpah, tapi air melengkapi kebutuhan dasar.
Biji-biji sisa makanan yang dilempat sembarangan pun tumbuh subur. Dan bercocok tanam pun di mulai.
Baca juga:
Peran Ganda
Bila ada anggapan bahwa kegiatan perempuan berkarier di luar rumah sebagai penunjang sumber penghasilan keluarga, merupakan produk dari budaya modern, mungkin mereka tidak begitu tahu apa yang terjadi di masa lalu. Memang budaya urban yang timbul belakangan membuat label sendiri tentang peran perempuan.
Menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau memberikan sesuatu kepada yang berhak, kata mereka. Pijakan berfikir seperti ini dalam keterkaitannya dalam mendidik anak serta membangun keluarga harmonis. Padahal sejak homo sapiens merangsak permukaan bumi, lelaki dan perempuan sama-sama bertugas cari makan. Hanya ketika mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak mereka terpaksa mencari perlindungan. Jadi tinggal di rumah bukan karena fitrah tapi lebih kepada jaminan keberlangsungan spesies.
Baca juga : Peran Blog Dalam Hidup Saya
Kalau memang terpaksa lelaki dan perempuan sama kemampuannya dalam membentuk masyarakat ideal.
Sekalipun begitu, yang kalau bisa romatisme urban menginginkan perempuan tetap berkutat di lingkungan domestik, keyakinan-keyakinan paternalistikpun tetap mengakui bahwa perempuan tidak pernah kehilangan peran magisnya sebagai sumber pancari nafkah. Sekalipun diembel-embeli sebagai penunjang (bukan tulang punggung) ekonomi keluarga.
Seperti ibu dalam foto diatas, yang berperan sebagai tangan ke-2 setelah suami dalam industry gula aren. Suaminya menyadap nira, si ibu yang memasak dan menjadikannya gula aren untuk kemudian dibawa ke pasar oleh suami.
Salam,
@eviindrawanto