Jangan bermain api kalau tak mau terbakar, nasihat nenek kepada cucunya. Seekor ngengat yang sedang terbang menikmati keleluasaan malam tidak pernah mengingat nasihat seperti itu. Nasihat nenek untuk ana-anak kecil di rumah, pikirnya.
Malam semakin dalam, Sang Ngengat semakin asik menikmati segala keindahan yang ditawarkan. Lalau matanya menangkap kelip cahaya dari kejauhan, kepak sayapnya langsung berhenti.
Pemandangan tak biasa bagi pahlawan kita. Maka agar lebih leluasa mengamati Sang Ngengat mencari sebatang pohon untuk dihinggapi.
“Apakah teman-temanku kunang-kunang sedang berpesta? Kalau ya mengapa mereka tidak mengundangku?” Tanyanya dalam hati
“Atau kah itu cahaya dari sebatang lilin atau obor? Untuk apa mereka diletakan di sana? Adakah sesuatu yang amat penting akan terjadi malam ini yang belum aku ketahui?”
Berbagai pertanyaan terus muncul dari pikirannya. Menit berganti jam dan Sang Ngengat akhirnya lelah menerka-nerka.“Hanya satu cara dalam memberangus rasa ingin tahu ini yakni harus terbang ke sana. Aku harus tahu apa artinya kerlip dari tempat jauh itu” Pikirnya.
Baca juga: Ibu Mau Beli Gula Aren Saya?
Ada Kemauan Ada Jalan
“Tapi jarakku dan sumber cahaya itu begitu jauh…” Sang ngengat mulai mengibaskan sayapnya yang tipis dalam keraguan.”Dengan sepasang sayap ringkih begini apakah waktu akan berpihak kepadaku?”
Dia mengarahkan hidung pada keempat penjuru mata angin, menaksir kedatangan subuh. ” Kalau aku terbang sekarang dengan kecepatan dua kali melewati lebar sayapku, jangankan sampai, sebelum subuh aku juga pasti sudah kembali ke sini”. Pikiran itu membangkitkan rasa optimisme Sang Ngengat.
Tak membuang waktu segera saja dia meluncur. Betul perhitungannya bahwa dalam beberapa menit pahlawan kita sudah sampai ke sumber cahaya. Merasa heran ada kecepatan terbangnya sendiri.
Baca juga : Nasihat Dale Carnegie, Memahami Sifat Dasar Kemanusiaan Kita
Sang Ngengat merayakan dengan mengelilingi api unggun, sumber cahaya yang membangkitkan rasa ingin tahunya di kejauhan.
” Kalau begini boleh melamar jadi atlit olimpiade nih “ Katanya sambil bermanuver mendekati api.
Sebelumnya Sang Ngengat memang tak tahu kemampuan terbangnya sendiri. Ia pikir hanya bisa terbang seluas wilayah jelajahnya selama ini.
Selain melupakan nasihat nenek, jangan bermain api kalau tak mau terbakar, ia juga melupakan prestasi para moyang yang telah melintasi badai dan padang gurun selama ribuan tahun.
Baca juga: 4 Tips Mengisi Waktu Saat Menunggu ala Travel Blogger
Jangan Bermain Api Kalau Tak Mau Terbakar
” Selamat datang “
Sang Ngengat terkejut lalu mencari sumber suara yang menyapanya. Tapi di sana hanya ada dia dan api unggun . “Aku sudah lama menunggu kedatanganmu. Mengapa lama sekali? “ Ternyata suara itu berasal dari dalam api yang sedang berkobar.
“Menungguku? Untuk apa menungguku? Do I know you? “
Api terkekeh. ” Aku adalah kehangatan yang terlempar jauh dari hatimu. Sekarang engkau putuskan sendiri untuk apa aku menunggu atau you know me or not.”
Mendengar itu Sang Ngengat kembali terbang menglilingi unggun. Sekarang dia memperhatikan lebih cermat. Bertanya penuh keheranan seperti itu kah api yang pernah tinggal di hatinya?
Sesekali ia terbang lebih rendah. Mendekat dan merasakan hangatnya lalu mengambil jarak kembali. Sungguh ia takut sayapnya terbakar.
” Apakah engkau tidak salah orang?” Tanya Sang Ngengat akhirnya.
” Nasib tidak pernah memilih, engkau lah yang memilih” Jawab Sang Api diplomatis.
Ngengat diam, Api pun membisu. Mereka bersitatap, menceburkan diri di kanal bahasa semesta. Tidak lama, Sang Ngengat berteriak, ” Tidaaaaaakkkkkk…”
Dengan sendu Api membiar dirinya berkobar. Sebentar kemudian terdengar bunyi mendesis. Dan malam pun kembali senyap.