Namun saya mengabaikan satu hal, lupa memupuk kesabaran dalam memahami beberapa fenomena. Diam-diam saya membenci pengeluh, tukang sungut-sungut, yang telalu cepat mengatakan tidak bisa, dan mereka yang fokus kepada apa yang tidak punya ketimbang apa yang dimiliki. Bahkan sebal pada mereka yang begitu “sok”nya mencibir berkat Allah entah itu berupa harta, tahta dan cinta dengan menganggapnya sebagai cobaan. Dalam hati berkomentar, terkutuk lah engkau jika rahmat Tuhan pun dicurigai sebagai cobaan. Kalau begitu apa yang tertinggal untuk disyukuri?
Makanya tak suka berlama-lama dekat orang negatif. Mereka itu seperti lubang hitam, menghisap apapun tanpa ampun. Dulu tak mengerti mengapa enggan berdekatan dengan mereka. Padahal dalam pergaulan sosial mereka baik, sopan dan tidak pernah merugikan siapapun. Hanya diakhir obrolan saya capek dan bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi?
The Prophecy
Setelah baca ulang novel The Celestine Prophecy – James Refield – jadi sedikit paham. Ini tentang hukum kekelan energi. Kalau tiba-tiba lemas setelah mendengar keluh-kesah atau penderitaan orang, itu tanda tanpa sadar saya telah memindahkan energi positif kepada mereka.
Sebagai makhluk sosial tidak mungkin tak melakukan kontak dengan orang lain. Dalam interaksi itu lah kita melakukan pertukaran energi. Jika Anda punya energi positif akan mengalir pada saya yang sedang negatif. Begitu pula sebaliknya. Dan manusia selalu tergila-gila pada kebahagiaan, entah dunia maupun akhirat. Energi positif adalah bahan bakar untuk keperluan itu. Maka secara insting kita akan mengambilnya dari berbagai sumber, termasuk dari teman yang sedang bersimpati pada kegalauan kita.
Maka mereka yang kurang bersyukur itu layak disebut sebagai benalu. Alih-alih menciptakan energi postif sendiri mereka merampoknya dari luar. Kalau seseorang merasa lemes atau tidak bergairah berhadapan dengan mereka, itu pertanda belum mampu mengontrol cadangan energi sendiri. Kita membiarkan energi postif mengalir tak terkendali untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut akan rasa nyaman dan tentram.
The Message
Tapi kabar baiknya, dibalik semua peritiwa itu, sesuatu yang besar tengah terjadi. Rasa lelah itu merupakan pesan dari kekuatan Maha Besar bahwa kita sedang berada dalam ladang amal. Lebih tepatnya Kekuatan Besar itu sedang menggunakan kita sebagai penyalur energi positifnya bagi kehidupan.
Sampai disini jadi tak enak hati pada kebodohan sendiri 🙂
Memahami Realitas
Untuk sebagian orang merasa tidak enak dihati, tidak bahagia, tidak puas, tidak senang itu alami. Mereka pikir harus ada alasan untuk bahagia. Padahal tidak ada alasan untuk bahagia. Mau bahagia ya bahagia saja. Seperti juga tidak ada alasan bagi saya mengapa tidak menyukai orang negatif.Saya belajar keras melihat segala sesuatu dari sudut terang, tapi bukan berarti energi atau semangat yang datang adalah milik saya. Itu milik Allah SWT yang mengabulkan semua doa asal disertai usaha. Saya menginginkan perubahan, kelimpahan energi postif maupun wisdom dan bekerja keras mendapatnya, maka Allah akan kabulkan semua itu.
Dan sekali lagi saya harus ingat, itu bukan milik saya, milik Allah. Jika bukan kepunyaan saya, lah mengapa harus pelit membagikannya?
Insap Neng!
Jadi saya belum sebaik yang saya mau. Bila membangun tembok-tembok tidak suka, hanya karena mereka berbeda, bukannya saya telah menceburkan diri ke aliran negatif yang mati-matian dihindari? Bukannya saya sedang mensabotase perkembangan sendiri? Mestinya saya terbebas dari pikiran memenjarakan seperti itu. Seperti kemubaziran genangan air yang tersumbat di selokan lalu membusuk, tidak akan ada sumbangannya bagi kehidupan kecuali mencemari lingkungan.
Sepertinya memahami konsep pengaliran, pertukaran dalam The Celestine Prophecy ini emang butuh waktu. Tapi bukankah memang demikian konsep transformasi? Berubah pelan-pelan pada keadaan lebih baik?
Well, Insya Allah I’ll try my best
Wallahu’alam bishawab