Cabe merah keriting
Hari ini per 4 Januari 2011, harga cabe tembus Rp.100.000/Kg di Pasar Kosambi Bandung. Sebuah fakta yang diangkat secara besar-besaran oleh media massa bahwa negeri kita tercinta ini tidak pernah kekurangan berita-berita buruk. Setelah masalah bank Century, Gayus dan teman-teman, kini masalah cabe yang jadi trending topic. Hayaaa.!!
Salah satu alasan saya tidak suka baca koran adalah bahwa di Indonesia ini bad news is good news tampaknya jadi tarekat yang diimani penuh khidmat. Tidak ngerti apa untungnya selalu membanjiri pikiran dengan hal-hal negatif, nyatanya headline koran kreatif sekali menemukan berita-berita yang mereka kira akan disukai publik. Nyatanya publik memang menyukai. Kalau tidak berita-berita seperti itu sudah lama tamat dalam mass media kita. Selama liburan kemarin saya sempat buka beberapa koran, sembilan puluh persen isinya tentang peristiwa beratmosfir muram. Entah itu tentang korupsi, cara mengelola negara, ekonomi atau politik, yang prinsipnya tidak membangun bahwa pintu bagi negara tercinta selalu terbuka lebar dalam memperbaiki diri.
Mengenai harga cabe yang menjulang tinggi, memang bukan tempatnya mencari analisis lebih dalam dari koran mengapa tiba-tiba komoditas seperti ini tiba-tiba berulah. Menurut saya publik juga berhak tahu isi berita lebih dalam. Bukan sekedar tahu soal keresahan para pengusaha makanan dan ibu rumah tangga bahwa harga cabe berlomba dengan harga emas, tapi latar perisitiwa yang membuat harga cabe demikian mahal. Memang ada sedikit yang mengulas keterkaitan musim yang tidak menentu seperti sekarang. Musim panas belum cukup tahu-tahu datang masuk musim hujan.Diantara musim hujan sejenak terjadi panas mengkerang habis itu hujan lagi. Produk hortikultura seperti cabe ini yang siklus hidupnya tergantung musim, ketika musim tidak mendukung syarat pertumbuhannya pun terganggu. Mereka busuk, mati atau ngambek tidak mau berbuah.
Faktor yang lain mungkin juga masalah pupuk. Kalau dulu pupuk disubsidi pemerintah yang membuat harga produksi lebih rendah, sejak awal tahun 2010 subsidi tersebut di hentikan yang mendongkrak biaya produksi. Belum lagi faktor tanah yang sekian lama diracuni pupuk kimia yang merusak struktur tanah, berbagai macam penyakit tumbuhan dan ketidak mampuan petani membeli obat guna membasmi hama termasuk faktor yang perlu dipertimbangkan terkait mahalnya harga cabe.
Menemukan masalah hanya menyelesaikan sebagian masalah. Setidaknya kalau tahu mengapa satu komiditi tiba-tiba melonjak harganya, kita bisa mempersiapakan diri ke depan. Rakyat Indonesia yang menyukai rasa pedas bisa melakukan sesuatu agar harga cabe tidak lagi melambung seperti sekarang. Mereka mulai menanam cabe sendiri di pekarangan rumah, di pot atau dimana saja sebab tanaman cabe apa lagi cabe rawit mudah tumbuh asal bertanah gembur dan lembab. Saya pernah melakukannya.
Tapi gerakan menanam cabe ramai-ramai sebetulnya bukanlah solusi yang tepat sepanjang kita belum mampu mengawetkan cabe. Ketika kita serentak panen, apa yang akan terjadi pada cabe-cabe yang telah diusahakan petani? Pasti membusuk di batang karena tidak ada yang membeli.Lain ceritanya kalau cabe-cabe tersebut di keringkan atau di oleh menjadi cabe bubuk. Yang menguntungkan dari cabe seperti ini tidak hanya dapat digunakan memenuhi kebutuhan rumah tangga tapi bisa juga memasok industri bahkan di eskpor.
Lalu pemerintah turun tangan, membantu pemasaran dan memberikan kredit permodalan. Sebab sebagian besar petani kita adalah petani gurem. Sementara cabe awetan mereka masuk gudang penyimpanan mereka tidak punya uang untuk mengasapi dapur dan menanam kembali, disini kucuran kredit di perlukan.
Pemerintah? Dimana pemerintah kita ya?