Dua hari ini gelisah tidak menentu. Ibarat berdiri diatas abu panas, tidak membetahkan, pengen loncat saja ke tempat teduh dan dingin dimana kaki nyaman dipijakan. Masalahnya, dimana sih tempat itu? Melihat situasinya, hampir seluruh permukaan bumi rasanya sedang di taburi abu panas. Jadi kemanapun pergi abu panas sudah menunggu.
Sebetulnya abu panas itu tidak dimana-mana. Saya sedang galau. Pikiran sedang mumet. Selama sepersekian detik kesadaran ini muncul, tiba-tiba seluruh abu panas di muka bumi menguap ke udara…Hanya sebentar lalu muncul kembali. Besok pagi harus terbang ke Padang, belum tahu untuk beberapa lama sebab akan menunggui ibu yang tengah terbaring sakit. Antara keinginan untuk segera sampai di Padang dan pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah ternyata mencabik jiwa.
Sumber kegelisahan itu tampaknya bersumber dari sini, keinginanan untuk berbakti dan menumpahkan rindu pada ibu-bapak serta tanggung jawab yang menuntut di rumah. Mereka berperang di ruang benak yang tidak begitu luas. Masing-masing punya argumen dan setiap argumen betul menurut keyakinan masing-masing. Lama-lama enek juga.
” Hey…kalian sedang berantem di rumahku! Please stop!!” Kata hati diam-diam
Tidak bisa begini terus-terusan begini sebetulnya. Saya capek. Tapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa diselesaikan baik oleh logika maupun perasaan. Ketegangan ini juga tidak hanya soal ibu dan pekerjaan. Tampaknya akhir-akhir ini aku sedikit longgar mengontrol rasa empati, jadi terbawa arus, melibatkan diri pada urusan-urusan yang bukan urusanku. Itu yang menambah kegalauan.
Saat aku putuskan menarik diri terlibat pada masalah yang bukan urusanku, pemandangan sedikit lebih terang. Masalahnya sekarang cuma tinggal dua. Saya masih galau tapi tak terlalu galau lagi..
Halah nulis apa sih ini?
— Evi