Namanya Aisah dan kami semua memanggilanya Bibi atau Bi Isah. Pangilan tersebut lahir dari cara dia membahasakan diri saat pertama kali masuk ke dalam keluarga kami sebagai staf rumah tangga. Tapi Adit dan Valdi tidak mengenal kata Bibi sebagai sebutan untuk Tante di tanah Sunda, Bibi untuk mereka adalah Bi Isah. Maka kalau ada orang yang menyebut Bibi di depan mereka refrensinya hanya Bi Isah.
Bi Isah datang di keluarga kami saat Valdi berumur tujuh hari. Aku ingat pada hari itu dia duduk di dekat meja makan menceritakan bahwa statusnya janda 2 kali dengan dua orang anak yang sudah mulai remaja. Anak-anak tersebut dari suami pertama. Satu orang ikut bapaknya dan seorang lagi ikut si bibi. Suami pertama meninggalkannya untuk wanita lain, suami ke-2 pergi begitu saja meninggalkan rumah tanpa kabar berita. Karena di kampung merasa tidak punya sawah atau kebun untuk menopang hidup, maka dia memutuskan cari kerja ke kota. Rumah kami adalah tempat kerjanya yang ke-2 setelah satu tahun mengabdi pada sebuah keluarga di Depok.
Sejak itu mulailah Bi Isah menjadi bagian dari keluarga kami. Seperti tugas para staff rumah tangga lain, Bi Isah mengerjakan apa saja yang perlu di bereskan. Kadang-kadang dia juga ikut membantu menyuapi anak-anak.
Dalam perjalanan waktu saya mengambil kesimpulan, sekalipun besar di kampung, Bi Isah bukan lah perempuan dengan talenta memasak. Sering aku gondok menikmati rasa masakannya. Kalau di katakan sayurnya agak kurang garam, besok pasti keasinan. Kalau di informasikan kemanisan, besok rasanya akan cemplang. Jadi ketimbang menggerutu terus aku mencari jalan keluar, dia yang membereskan bahan-bahan untuk dimasak, aku yang mengeksekusinya. Tapi kalau sudah terlalu capek dengan anak-anak, aku biarkan dia berkreasi sendirian di dapur, terima nasib rasa apapun yang terhidang di meja. Bahkan pernah makan semur serasa dikuahi pemutih gara-gara dia lupa mencuci daging sebelum di masak. Dari pengalaman ini aku tahu betapa banyaknya pengawet yang diguyurkan pada daging segar yang di jual di supermarket.
Kelemahan Bi Isah yang lain, dia seperti hidup di dunia sendiri. Tidak begitu nyambung kalau diajak bicara. Lama-lama dia mengaku kalau pendengarannya memang sedikit terganggu.Tapi menurutku masalah dia bukan cuma soal pendengaran. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa sealur dengan orang lain. Umpama musik dia tidak masuk ke dalam harmonisasi, lari sendiri. Jadi kalau ada sesuatu yang penting untuk disampaikan, aku mengulang-ngulang pesan tersebut dan kalau perlu menuliskannya di secarik kerta ( thanks God dia tidak buta huruf)
Hanya dua itu kelemahan Bi Isah, selebihnya, dia pekerja prima. Tidak pernah mengeluh kecapekan, tidak pernah melawan atau protes kalau tiba-tiba aku yang mudah naik darah gara-gara stress dengan anak-anak. Paling-paling dia hanya menunduk dan diam-diam beringsut ke belakang meneruskan pekerjaan seperti tidak terjadi apa-apa. Dia juga taat beribadah. Malam-malam kalau terjaga dari tidur dan melihat lampu kamarnya menyala aku suka menengok ke dalam. Dia sedang tahajud dan susudahnya membaca Al Quran. Aku pernah memergokinya menangis saat membaca ayat-ayat suci. Dan dia tidak pernah mengaku apa yang ditangisinya. Tapi aku percaya dia tidak menangisi sikapku, gini-gini bos yang baik sejak dulu 🙂
Setelah enam tahun dia mulai menunjukan tanda-tanda tidak sehat. Kami membawanya ke dokter. Ternyata penyakit paru-paru yang mengenai beberapa keluarganya ternyata telah masuk pula ke paru-paru si Bibi. Menurut dokter kuman yang bersarang di dada Bi Isah tidak akan menular pada anak-anak sepanjang mendapat pengobatan menyeluruh dan mereka tidak kontak langsung. Begitu pula dengan penggunaan alat-alat makan harus terpisah. Ok kalau begitu! Maka berkomitmen lah kami mengobati Bi Isah sampai sembuh.
Setelah setahun dari hasil rontgen dokter menyatakan paru-paru Bi Isah sudah bersih. Hidup bergulir seperti biasa kembali. Hanya kepulangan di lebaran ke-8 tahun bersama kami, Bi Isah mengatakan tidak bisa balik lagi. Salah seorang anaknya sudah bekerja dan meminta sang ibu untuk istirahat saja di rumah. Sekalipun sedih dan kehilangan, mau ngomong apa, aku terpaksa merelakannya. Sekalipun begitu hubungan kami tidak terputus begitu saja. Dia sering datang berkunjung, menginap beberapa hari lalu pulang kembali. Dan kamipun beberapa kali jalan-jalan ke kampungnya.
Sekitar bulan Juli tahun 2009 dapat telepon dari anaknya kalau Bi Isah sedang sakit dan dia ingin jumpa dengan anak-anak. Kalau lah ada penyesalan yang paling memukul batinku hingga saat ini, itu adalah rasa bersalah kepada perempuan yang telah ikut merawat anak-anakku. Saat itu kami sedang pameran dan pekerjaan banyak sekali. Dan aku katakan pada anaknya kami tidak bisa berkunjung saat itu. Setelah pameran kami akan ke sana. Seminggu kemudian, saat kunjungan belum juga terlaksana, anaknya menelepon kembali bahwa Bi Isah telah tiada..
Sesaat mendengar berita itu, dunia seperti berhenti. Dadaku kosong. Hening. Aku mencari pegangan namun yang nampak hanya bayang abu-abu. Aku menangis, tapi entah untuk apa. Hidupku atau Bi Isah yang telah damai bersama khaliknya? Ketika menyampaikan berita ini pada suami dan anak-anak, apa lagi yang pantas diterima selain penyesalan bahwa aku lupa memberi tahu mereka soal telepon pertama yang mengabarkan Bi Isah sedang sakit dan ingin berjumpa dengan anak-anak.
Saat berkunjung ke makamnya aku malu untuk menangis. Diatas sana tentu dia sedang melihat kepada kami dan sekarang kepada hatiku yang pernah tidak perduli. Namun apapun yang penyesalan yang menyesakan dadaku, entah dia menerima atau tidak, aku tetap meminta maaf kepadanya. Minta dimaafkan terhadap omelan-omelanku yang dulu, suka mencela masakannya, pernah menyebutnya autis sekalipun dia tidak mendengar. Begitu pula malam ini, saat menuliskan note ini, saat aku kangen kepadanya, semoga dia mau membukakan pintu maaf untukku.
Maafkan aku ya Bi…