Saat internet dan berbagai sosial media sudah membuat dunia menanggalkan batas waktu dan geografis, rupanya tak semua orang subscribe pada realita ini. Masih ada ada anggapan bahwa suku dan golongan mereka lah yang terbaik, sementara golongan lain diciptakan Tuhan untuk menyampahi bumi. Picik! Padahal Hitler dan paham ras unggulannya sudah lama modar,. Heran banget model kepicikan manusia gua seperti itu masih dipelihara.
Keuntungan menikah dengan pria berlainan etnis dengan etnis ke-2 orang tua saya adalah kesempatan melihat cara-cara hidup berbeda. Sudut pandang bisa saya setting sesuai kebutuhan sebab berpindah antar realita itu tak terhindarkan. Melihat ke dalam etnis Minang lalu pindah ke etnis Tionghoa dengan memberika empati yang sama. Atau saya juga bisa berdiri di tengah, mengamati tanpa membebankan nilai-nilai yang saya anut untuk menarik berbagai kesimpulan. Proses pemikiran seperti ini kadang membuat meringis, kadang tertawa tapi lebih banyak memberi pemahaman bahwa hidup merupakan seri cerita yang panjang. Setiap episode dari realita di luar saya bisa dipahami secara semesta. Atau pada kesempatan lain bisa juga dilihat sebagai fragmen-fragmen kecil yang terangkai dalam melengkapi keseluruhan episode.
Menjalani hidup seperti itu sulit mengatakan bahwa dunia ini hitam-putih. Ketika engkau merasa putih yang diseberangmu tidak harus hitam. Sebab ketika kau masuk ke lingkaran yang disebut hitam itu, engkau akhirnya tahu bahwa gelombang yang sampai ke matamu sudah menandakan engkau berjauhan dengan objek pandangmu tersebut.
Menjadi anggota dari dua etnis berbeda juga memampukan saya untuk tidak terlalu mudah mengharamkan cara orang lain menjalani hidup. Sekalipun dan terkadang itu sangat bertolak belakang dengan keyakinan sendiri. Saya lihat ada alasan untuk seluruh peristiwa. Ada penjelasan untuk semua gejala. Dan itu lebih terpahami jika saya menempatkan diri di koridor sejarah atau lorong waktu. Kedua lorong berpintu dan ketika masuk orang mengawalinya dari satu pijakan.
Dan kalau kamu lihat dari atas mustahil mengatakan bahwa pijakanmu lah yang paling benar. Sebab mereka yang memilih pijakannya atau terpaksa terpilih di gerbang tertentu membekali diri dengan satu pemahaman, pilihan mereka lah yang terbaik.
Mengkonsumsi daging babi sangat tabu dalam etnis saya. Karena berawal dari ajaran Islam yang kami peluk. Tapi dalam keluarga suami di lakukan dengan asyik. Hari raya imlek tidak serasa konyen tanpa daging babi. Sementara ada tabu dalam etnis suami, seperti haram hukumnya menggunakan warna merah atau warna-warna cerah dalam peristiwa kematian. Tapi tak ada warna yang dilarang digunakan dalam upacara pemakaman pada keluarga saya. Bagi etnis cina merah adalah hari raya dan kegembiraan, sementara hari duka adalah warna putih dan hitam. Sementara di Minangkau biasa saja melihat baju-baju penghubulu dalam pesta adat berwarna hitam, begitu pula dengan baju pengantin dalam pesta pernikahan.
Tidak hanya soal makanan dan ritual-ritual keagamaan, dalam kehiduapn praktis sehari-hari saya juga dapat melihat beberapa perbedaan mengapa satu etnis di sebut Minangkabau dan mengapa yang satu lagi di sebut China. Orang cina percaya betul bahwa rejeki mereka selain di tentukan Tuhan dan usaha, di tentukan pula oleh tata letak, dan bentuk ruang rumah atau toko mereka. Di Minangkabau kalaupun terdapat unsur hongsui dalam pembangunan rumah gadang tidak lebih dari filsafat alam takambang jadi guru, tidak pernah disangkutkan dengan potensi rejeki para penghuninya kelak.
Begitu lah! Setiap episode dalam kehidupan bisa dipahami secara semesta ataupun sebagai beberapa fragmen kecil, terangkai melengkapi keseluruhan. Ketika fragmen dianggap sebagai semesta disitulah persoalan muncul. Itu yang disebut picik!