Buku tidak hanya untuk dibaca tapi enak juga untuk dibuat kreasi
Dalam sebuah acara karang taruna ketika remaja dulu saya pernah di taksir orang gara-gara pertanyaan seperti ini: " Apa kegunaan sebuah buku" Jawaban saya adalah "Untuk bantal, kasur dan kursi" . " Lho kok bisa?" Tanyanya lagi. " Yah bisa dong. Aku akan menikah dengan seorang kutu buku, jadi harta pertama di rumah kami adalah membawa pindah segudang buku dari rumah orang tua masing-masing"
Entah apa sebabnya, cinta kilat itu tidak berlanjut. Mungkin lama-lama dia tahu saya tidak lah selucu seperti kesan pertama saat berjumpa. Namun bukan itu maksud inti cerita ini sebenarnya. Buku sebagai salah satu penanda kemajuan peradaban manusia bisa juga dipakai sebagai standar pengukur kreativitas berpikir seseorang.
Kalaulah buku dapat difungsikan sebagai furniture, mestinya buku juga bisa digunakan sebagai penyumbat empang di sawah, pelempar buah yang sedang masak, pengusir hantu atau dibuat sebagai tangga darurat dalam misi penyelamatan gedung yang terbakar. Seperti yang di lakukan si bocah tua nakal, Kaisar Nero di kota Roma berabad lalu, buku dapat juga dijadikan bahan bakar pemusnah peradaban. Nero yang demen main api telah membumi hanguskan Roma dalam semalam dan tentu saja berikut buku-buku di perpustakaan yang merekam sejarah bangsa itu. Mengingat tingkat kemajuan Roma saat itu dengan hangusnya kota itu mungkin juga sebagian sejarah umat manusia turut musnah bersamanya.
Buku paling memungkinkan untuk beromantis tentang suatu masa, ketika kertas belum di temukan, ketika batu jadi sasaran goresan yang timbul dari hasrat manusia untuk mengabadikan pengalamannya. Terbayang bagaimana layout perpustakaan jika yang tersimpan adalah deretan batu tidak beraturan, mengabarkan segala hal yang ingin diwariskan manusia kepada keturunannya. Kita mungkin memerlukan berhektar-hektar lahan guna membangun perpustakaan.
Untungnya kecerdikan dan kemampuan meneliti dunia sekeliling membuat batu sangat tidak praktis untuk di tulisi. Mungkin batu lebih baik dikembalikan fungsinya sebagai pelempar hewan buruan atau merontokan setangkai dahan papyrus untuk dijandikan alas mengeringkan tulang. Saat setetes darah meleleh diatas helai daun dan mengering di sana, ternyata pola yang terbentuk membentuk suatu gambaran seperti awan dan hujan. Kalau begitu pengalaman yang ada di pikiran bisa juga dipindahkan lewat simbol tertentu, tidak hanya diatas tulang, tapi juga pada helai daun kering.
Kalau diteruskan, buku dan imajinasi dua kerabat jauh yang hidup di keliaran teritori masing-masing. Melemparkannya ke langit tidak menghalangi kejatuhan sinar matahari pada celah tangkai anggrek yang berkerumun dalam sebuah taman. Meletaknya diatas kepala dan menari di bawah hujan, menyantelkan MP3 di telinga, mendengarkan Kitaro lalu berlari menuju tepi jurang merupakan kegilaan resmi dari sudut pandang orang normal. Dalam kreativitas segalanya menjadi mungkin. Buku bisa dijadikan semacam piring layang guna mendarat di dasar jurang.Tapi ini sebetulnya bukan lah kegilaan. Jika logika mampu merangkainya dalam satu cerita, potongan2 aneh tersebut bisa menjadi satu cerita utuh. Bagaimana kalau dua gambaran terakhir adalah dua cuplikan dari satu film? Sebetulnya yang berada di atas kepala dan dipijak sebagai piring layang bukan lah sebuah buku melainkan sebuah alat canggih ala Doraemon yang bisa berganti-ganti ujud sesuai keinginan pemiliknya?
Cerita seperti ini bisa di teruskan beratus seri seperti sinetron lebay dari Korea. Tapi unutk kali ini cukuplah sampai disini.