Hujan lagi di Serpong. Dengan jendela terbuka lebar, angin membawa aroma daun pandan bercampur rumput basah yang tumbuh di muka rumah. Sesekali terasa usapan lembut di pipi, selebihnya deras suara air yang terhempas di genting lalu meluncur ke lantai di pelataran muka. Mereka saling mengejar dalam satu gelombang komposisi yang harmonis. Entah kenapa saya selalu berdebar-debar mendengar suara seperti itu.
Hujan seperti ini memang membawa berkah untukku, membangkitkan banyak kenangan baik yang pahit maupun yang manis. Besok genting rumahku pasti bersih. Begitu pula untuk petani yang sawah dan ladangnya kekeringan, serta mereka yang sumur-sumurnya kekurangan air, hujan deras seperti ini pasti merupakan berkah.
Tapi disisi lain aku ingat pada pengalaman tiga hari lalu, sekitar jam 12 malam lewat dibawah kolong jembatan S Parman sepulang mengantar Adit ke tempat kostnya. Beberapa orang lelaki dewasa dengan bersarung dan bercelana pendek berkumpul disana. Ada yang mencangkung, bersender ke dinding jembatan sambil merokok dan menatap mobil-mobil yang lewat. Ada lagi yang tiduran beralaskan kardus dan tikar yang tidak jelas bentuknya. Tak jauh bergeletakan pacul, pengki dan alat-alat kerja bangunan lainnya. Dari penampakan ini jelas terlihat bahwa mereka adalah para pekerja bangunan yang tidak punya tempat pulang malam itu.
Malam ini dibawah guyuran hujan, dalam rumah kami yang mungil, sesak tapi diusahakan senyaman mungkin, saya membayangkan mereka-mereka itu. Apa yang mereka lakukan dibawah terpaan hujan deras begini? Apakah mereka mereka memiliki keluarga? Apakah mereka merindukan rumah? Apa yang mereka pikirkan saat memandangi mobil-mobil mewah melintas di muka?
Ketidak beruntungan di Jakarta mestinya tidak hanya berhenti dibawah jembatan itu. Di tempat lain, di terminal-terminal, di halte bus, di perumahan padat di tepi kali, hujan deras pastinya adalah sebuah ancaman. Belum lagi jika air terakumulasi, permukaan sungai dan got terlalu lelah menelan jumlah mereka, ditambah lagi kiriman dari Bogor, lengkap sudah syara menjadi banjir. Kalau begini bukankah hujan sudah bukan berkah lagi?