Membalik Asumsi – Homo Sapiens adalah pembelajar yang baik. Ketika alam menghadirkan siang-malam, jantan-betina, hitam dan putih, hujan-panas, mereka mengadobsi fakta-fakta tersebut untuk membangun realita sosial. Realita yang dibangun di atas imajinasi, hanya terdapat dalam pikiran manusia.
Maka lahir lah konsep-konsep sedih-gembira, derita-bahagia, benci-cinta. Pasangan dari kata benda abstrak ini tidak terdapat di alam semesta, hanya dalam imajinasi. Realitas yang dimajinasikan semakin bertambah ketika seseorang dilanda ketakutan. Contohnya bila terjadi bencana alam, ada yang mengatakan bahwa alam sedang marah.
Alam sedang marah itu adalah konstruk imajinasi dari si empunya pendapat. Alam adalah kata benda netral. Ia tidak memiliki emosi seperti marah dan senang, benci atau rindu.
Kalau gempa ya gempa saja. Gempa bumi terjadi karena tumpukan dua lempeng bumi yang aktif. Lempeng tektonik adalah segmen keras kerak bumi, mengapung di atas astenosfer yang cair dan panas. Lempeng tektonik yang tak lain adalah lapisan paling luar bumi ini bebas bergerak dan saling berinteraksi. Kadang-kadang mereka tabrakan satu sama lain. Jadi gempa tak ada hubungannya dengan kemarahan alam, apa lagi Tuhan. Jangan membalik asumsi.
Homo sapiens yang penuh imajinasi ini lah yang mengasosiakan bencana alam sebagai kemarahan. Busyetnya lagi kemarahan Tuhan.
Baca juga : Mari Membedah Struktur Kepercayaan Kita
Tergila-gila Padah Hal-Hal Positif
Manusia selalu membuat asosiasi tentang apa-apa yang terjadi luar dengan yang terdapat dalam kepala. Sekilas berpikir itu adalah fakta. Sebenarnya ini hanya “fiksi”, konstruksi sosial, realitas yang dikhayalkan.
Nah kita memberi bobot nilai untuk setiap realita imajinasi. Bencana alam misalnya dimasukan ke kategori negatif. Pembangunan ke positif. Untuk setiap pengalaman yang mampir, hampir sebagian besar orang menghindari hal negatif. Jarang yang mau membalik asumsi yang sudah begitu mapan dalah realitas sosial umat manusia.
Baca juga : Nasihat Dale Carnegie, Memahami Sifat Dasar Kemanusiaan Kita
Saya tidak tahu dari mana muasalnya bahwa kita tergila-gila pada jalur khusus yang diberi makna postif. Seperti bahagia, gembira, pahala, cerah, sehat, kaya, baik, plus dan masih banyak lagi. Terutama terhadap konsep bahagia, tidak di dunia tidak diakhirat, umat manusia berhonoh-hondoh mengejar realita ini. Segala upaya dikerahkan untuk meraih dunia yang satu ini.
Kalaupun ada perbedaan, yang satu kelompok menekan kan pada dunia (kala hidup), sementara kelompok lain mengejar akhirat karena dianggap lebih abadi. Hal itu diadvokasi oleh kitab-kitab suci dunia, secara serius, dengan memamerkan segala bentuk keindahan dan kesenangan yang terdapat di surga.
Jadi tidak aneh jika kemudian yang berada dijalur negatif sebisa mungkin akan dihindari. Tidak ada yang akan suka menceburkan diri ke dalam derita secara suka rela. Jangankan mengusahakan meraihnya, malah setengah mati menghindarkan diri dari penyakit, perbuatan jelek atau membenci sesuatu.
Baca juga : SUDUT PANDANG
Makanya neraka diletakan di jalur ini, jalur negatif. Sebuah tempat pembalasan atas pembangkangan terhadap Allah dan sakitnya abadi.Semua orang pasti takut masuk neraka.
Membalik Asumsi, Negatif adalah Positif
Cara berpikir kita adalah konstruksi sosial. Imajinasi realitas yang difaktakan. Dengan cara ini bisa dibulak-balik.
Saya baru saja diindoktrinasi bahwa jalur negatif yang mati-matian dihindari itu sebenarnya positif. Untuk memahaminya tentu saja perlu kontruksi imajinasi lain: “Jika kesulitan melintas dalam hidupmu, jangan kecil hati. Berbahagialah. Karena kesulitan itu adalah hidayah dari Allah. Berarti Dia sayang kepadamu”.
Kata-kata ini mengingatkan saya pada sebuah literatur sufisme yang mengatakan bahwa kebahagian hanya untuk anak-anak sedang jalan para pencari Tuhan adalah jalan sulit dan berliku. Dengan kata lain, kebahagiaan hanyalah mainan, sementara penderitaan adalah kesejatian hidup.
Setelah membiarkan mengendap beberapa lama dalam pikiran, membolak-balik, dan dilawan oleh benturan konsep bahagia yang selama ini terpegang, alhamdulillah akhirnya saya mengerti maksud dari negatif adalah positif itu,
Yang kita perlukan hanya membalik asumsi. Bahwa derita adalah sebuah hal yang tidak enak itu pasti. Tapi tatkala tahu bahwa itu adalah satu cara Allah menyatakan cinta-Nya kepada kita, lahir dari keinginan agar kita menyisihkan waktu menatap kepada-Nya, apa sih yang kau inginkan lagi selain mengucap Alhamdulillah?
Dalam tantanan kehidupan sosial, demi keteraturan, imajinasi realitas itu perlu!