Dalam seminar mengenai bimbingan teknis ekspor dan impor kemarin saya berkesempatan bertemu dengan Bapak Hidayat Syah. Adalah kebiasaan saya tidak memikirkan jabatan orang, hanya tertarik pada fungsi jabatan tersebut. Dan beliau bekerja di Kantor Departemen Peragangan yang membawahi bidang ekspor ekonomi kreatif. Singkatnya saya gak ngeh apa jabatan beliau, yang menarik hanyalah ketika Pak Hidayat mengatakan bahwa sumber daya alam di bumi ini suatu saat akan habis. Hanya kreativitaslah yang bertahan sampai umat manusia ini punah di muka bumi. Itu lah alasan mengapa Indonesia sekarang kerja keras menaikan rating Brand Indonesia di mata dunia. Sebab hasil perut dan permukaan bumi Indonesia ini suatu saat juga akan habis.
Menjadi kreatif tidak harus memiliki IQ diatas 220. Sebab mereka yang ber IQ dibawahnya pun, asal mau menengok potensinya ke dalam lalu mengembangkannya sedemikian rupa berpeluang mendapat julukan sebagai creative genius. Dalam workshop kemarin saya berkesempatan melihat sebuah tas wanita yang dibuat dari anyam-anyaman limbah pasta gigi dan kertas bekas pembungkus permen. Secara design sih tas yang dibuat oleh ibu-ibu sepuh dari sebuah panti jompo tidak istimewa. Hanya material tas tersebut tidak mengikuti bahan-bahan konvensional yang membuat saya berpikir bahwa mendaur ulang limbah menjadi barang yang bisa digunakan kembali merupakan salah satu cara menyatakan cinta pada bumi. Begitu pula pemanfaatan ibu-ibu manula yang masih bisa bekerja, yang boleh juga dikatakan hanya menunggu hari sebelum maut menjemput, juga salah satu cara menyatakan penghargaan pada makhluk penghuni bumi. Saya tidak tahu siapa yang punya ide pertama kali membuat tas dan dompet dari limbah tersebut, yang saya tahu ide mereka boleh dikategorikan genius. Asli soalnya.
Sepertinya bumi indonesia memiliki kemiripan dengan otak manusia, kapasitasnya cuma dipakai 10 % dan sisanya dibiarkan membusuk menunggu mati. Ditengah kemiskinan yang menghimpit sebagian besar rakyatnya, mendengar slogan-slogan bahwa kita negara kaya, subur dan makmur terasa absurd. Bgaimana mungkin engkau menyebut diri kaya bila yang dilakukan adalah mengekspor tenaga kerja murah, lalu pulang dengan sarat masalah. Bagaimana mungkin mengklaim tanahnya subur sementara rakyatnya memakan beras bulog berkutu. Mungkin isi perut bumi kita kaya, tapi melihat rakyat asli si pemilik tanah keleleran dalam kekurangan seperti menodongkan bedil pada jidat ibu kita.
Memang ada mata rantai yang hilang. Antara kesuburan tanah dan kemiskinan rakyat menganga sebuah jurang, gak nyambung, mengherankan tapi fakta berbicara seperti matahari yang setiap terbit di timur setiap pagi. Disini saya berpikir bahwa kreativitaslah yang hilang dari cerita ini. Banyak sebab mengapa hal ini terjadi. Mungkin karena alam yang ramah dan memanjakan kita jadi terlena. Coba saja tongkat kayu bisa jadi tanaman (terutama jika tongkatnya batang singkong) siapa yang perlu berpayah-payah mencangkul ke ladang? Begitu pula secara sosial masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan kekeluargaan yang guyup, apa bila yang satu kesusahan yang lain akan membantu. Jadi kita tidak dituntut terlalu keras untuk mempertanggung jawabkan nasib sendiri. Mungkin itu juga penyebab yang melahirkan sikap bahwa kita begitu bergantung kepada pemerintah. Apa-apa minta perhatian dan bantuan pemerintah. Lah ketika pemerintah juga berasal dari alam yang sama, cara didikan yang sama, dari mana pula mereka punya ide bahwa kehidupan bernegara itu harus berakhir dalam perjuangan mensejahterakan rakyat?
Nah ketika otak tidak digunakan secara maksimal, tidak dibiasakan terasah dalam persfektif luas yang akan memercikakan berbagai ide, rasanya disitulah awal dari semua persoalan kita. Ketika memandang keluar yang tampak cuma tembok-tembok penghalang. Gagal panen, diserang wabah, hanyutnya lahan-lahan subur ke muara perumahan, dikembalikan pada kambing hitam: Pemerintah. Padahal bangsa ini terbentuk dari gabungan individu dan keluarga. Jika saja setiap individu mulai memikirkan nasibnya yang lalu dikaitkan dengan nasib orang lain yang berpengharapan serupa, kita tidak memerlukan pemerintah. Kalaupun ada mereka hanya berfungsi sebagai regulator yang menjamin keteraturan sosial. Tapi memang menjadi kreaif itu butuh ongkos…