Tak jadi soal berapapun umur saat ini, berapa lama sudah menikah, berapa banyak yang perlu dirawat, berapa beban yang harus dipikul, atau berapa tanggung jawab yang dijalani, ada bagian tertentu dari diri kita yang tidak pernah dewasa. Bagian yang tak pernah menua. Orang menyebutknya bagian kekanakan. Bagian yang kadang-kadang membuat orang lain memandang aneh dan merasa tidak mengerti siapa sebenarnya kita.
Pastinya kajian ini ada dalam ilmu psikologi. Kalau punya waktu mestinya menarik mempelajarinya. Karena saya tidak punya waktu maka memilih menikmati saja. Semoga saja ini bukan termasuk dalam kajian Kepribadian Terbelah. Tapi kalaupun iya who cares? Saya malah mensyukuri bahwa Allah itu warna-warni. Memberi kesempatan kita tumbuh dewasa sekaligus mengijinkan sebagian dari diri kita tetap menjalani hidup sebagai gadis berumur 12 tahun, 5 tahun atau mungkin bayi baru lahir. Kalau kebetulan ada yang membaca catatan saya ini dan telah terlanjur MENUAKAN kepribadian dalam semua hal, isyaf lah segera! Dunia lewat mata kanak-kanak jauh lebih SERIUS dan MENANTANG hehehe…
# MAKAN COKLAT
Pertama kali menyadari bahwa ada kepribadian saya yang tidak kunjung berkembang terlihat dari kesukaan makan coklat. Yang menemukannya Valdi, anak saya. Entah sejak kapan Valdi yang juga penyuka coklat itu merambah jalan paling sederhana ini untuk masuk ke dalam jiwa kekanakan mamanya tidak seorangpun tahu. Namun dia tahu, sepanjang permen tersebut terbuat dari buah Cacao, diberi gula, dibungkus rapi dan tampak higienis semua akan bersahabat di lidah saya. Mungkin beberapa pemberian adalah sogokan. Tapi saya lebih suka memandangnya sebagai bentuk perhatian strategis. Dari pada menyelidik dengan pertanyaan yang berujung pada melukai hati : " Nyogok ya?" saya memilih mengucapkan terima kasih dengan memeluk si ganteng itu. Lalu duduk manis menikmati hadiahnya sambil berayun-ayun kaki. Sayang saja tidak tinggal di tepi Danau. Kalau ya saya akan berteduh di bawah sebatang pohon, meletakan bangku kayu, menikmati coklat sambil memandangi permukaan air dan berhayal memandangi angsa-angsa putih berenang diatasnya.
# DONGENG
Jika Anda pernah membaca dongeng Sepatu Merah, tentang Karen gadis cantik yang menjadi korban obesesinya sendiri terhadap Sepatu Merah, yang menari menggunakan sepatu merah dan tak mau terlepas sampai berhari-hari, saya ambil bagian menikmati cerita tersebut. Sampai sekarang masih ingat isakan sendiri pada bagian ketika Karen terpaksa menyuruh tukang kayu untuk memotong kedua kakinya agar terbebas dari kekuasaan si sepatu merah. Pernah baca dan ingat ceritanya? Nah saya besar oleh dongeng-dongeng semacam itu. HC Andersen memang paling jago membuat anak-anak masuk kedunia peri, kerajaan, pangeran dan putri.
Dari Andersen merambah ke cerita-cerita petualangan dan misteri. Cerita misterinya bukan semacam roh gentayangan, bangkit dari kubur atau menjadi saksi ketika pocong melahirkan. Saya lebih suka menghabiskan waktu di kapal-kapal luar angkasa yang mengunjungi planet-planet tak di kenal. Mengenal penduduknya yang tidak berhidung namun menteksi aroma dari ujung-ujung rambut yg tumbuh di dengkul mereka hehehe…Saya juga suka pada dunia-dunia aneh. Seperti berkunjung ke dimensi lain yang pintunya terkuak di Segitiga Bermuda. Sampai sekarang Science dan ilmu pengetahuan belum mampu menjawab tentang sebab-musabab lenyapnya beberapa kapal laut dan pesawat terbang di sana. Namun si Puteri yang hidup dalam diri saya mengatakan bahwa kapal dan pesawat2 tersebut tidak kemana-mana. Mereka masuk pada dimensi ke-4 yg diabaikan oleh science dan terperangkap disana karena tak punya pengetahuan mencari jalan pulang.
Sekarang Andersen telah lewat. Puteri, pangeran dan peri tidak begitu menarik lagi. Tapi itu bukan berarti dongeng-dongen juga lewat sebagai bentuk kesenangan yang mengayomi. Mereka bertransformasi ke cerita drama-drama percintaan atau cerita kehidupan yang manis. Seperti yang terdapat dalam sinetron-sinetron Korea itu. Untungnya Allah tidak memberi urat kesabaran yang cukup untuk duduk di muka TV berlama-lama, jadi sinetron Korea yang ada di TV Indonesia boleh lewat dan waktu bisa saya pergunakan untuk kerja.
Refleksi:
Hidup ini hanya serangkaian pilihan kan ya? Memutuskan memandang hidup itu sebagai orang tua, pendidik atau polisi dunia memang menarik. Bagaimanapun keteraturan sosial yang telah kita sepakati bersama memerlukan komitmen. Hanya orang tua yang mampu mati bersama komitmennya. Sebaliknya jangan juga mau membangun penjara untuk diri sendiri. Keluar dari kebijaksanaan konvensional, berbelok melihat hal-hal lama dari perspektif baru alias membiarkan kanak-kanak dalam diri kita menata dunia tak jarang akan berujung pada perkembangan kreatifitas. Coba deh!