Orang mengenal namaku sebagai Keinginan. Tidak jelas benar dimana tempat tinggalku, apakah dalam otak atau kah dalam dada. Yang jelas aku bercokol di suatu tempat dalam jiwa. Kalau boleh kugambarkan seperti apa tempat tinggalku itu, bayangkan sebuah apartemen pada di pusat kota. Disana aku berbagi tempat dengan ambisi beserta kerabat dan seluruh keturunan seperti cita-cita dan kemauan.
Diseberang apartemen kami ada sebuah apartemen lagi. Namanya Moralitas. Dia juga tinggal beserta seluruh kerabat dan keturunannya. Sekalipun kami tetangga dekat dan tidak terpisahkan, hubungan kami naik turun. Kadang-kadang kami mesra dan saling memahami. Kadang-kadang saling mengacuhkan. Kadang-kadang berantem hangat-hangat tahi ayam seperti dua manusia jatuh cinta. Dan saling membenci juga bagian ke dalam hubungan kami.
Itu semua gara-gara kelahiran Moralitas memang hanya untuk merecoki hidupku. Aku adalah Keinginan dan keinginan itu seperti mesin jet, melaju kencang kemanapun moncongnya aku arahkan. Aku bisa meleset ke puncak gunung sambil tertawa-tawa sambil menginjak-injak orang lain. Aku bisa melukis dunia dan menancapkan nama sendiri sebagai pemegang maha karya. Aku juga bisa merampok segala sesuatu yang menjadi panggilan naluri dan memilikinya tanpa tahu bahwa orang lain juga punya hak disana.
Disetiap petualangan itu lah Moralitas akan masuk tanpa mempertanyakan apakah aku suka atau tidak. Ketika aku menginjak orang dialah yang membuat aku melihat bahwa yang terinjak kesakitan dan menangis. Lalu dia memaksaku turun dan menyuruh mengulang perjalanan kembali. Kali ini cari jalan yang tidak membutuhkan pengorbanan orang lain. Begitu pula ketika aku menempelkan merek sebagai kreator, Moralitas memberi pertimbangan apakah benar bahwa merek tersebut 100 persen milikku. Kalau cuma ngaku-ngaku saja tanpa nilai kemungkinan besar aku akan malu pada akhirnya. Aku tidak bisa merampok sembarangan sebab moralitas akan memberi tahu bahwa akan ada pembalasan.
Jadi begitulah. Kami bertetangga, saling menyayangi tapi juga saling membenci.