Adalah rahasia bersama bahwa sekolah di Indonesia lebih banyak mengajarkan berpikir ketimbang bertindak. Efek pendidikan seperti itu tampak dari rata-rata kita jago kalau berwacana namun melempem pada soal mengerjakan atau bertindak. Lihat lah pada jurnal-jurnal seputar produk makanan yang bisa di garap UKM yang telah dilakukan beberapa Universitas. Saya merasa sayang bahwa hasil karya ilmiah tersebut “kebanyakan” dibiarkan berdebu di perpustakaan. Tidak dieksekusi melalui pembukaan lapangan usaha baru. Sementara di luar angka pengangguran terus saja meningkat. Hasil kerja keras para ilmuwan seputar pemanfaatan tepung ganyong, tepung singkong dan tepung labu atau umbi-umbian lain sebagai bahan pengganti beras misalnya, tidak secara signifikan membuat orang tertarik berwirausaha. Tidak beruwirausaha tidak ada lahan kerja. Akibat sempitnya lapangan usaha itu maka sebagian masyarakat memilih jadi buruh kasar di luar negeri. Photo source
Begitulah yang saya tangkap dari potret sosial ekonomi negara tercinta ini. Kebanyakan hasil riset perguruan tinggi berakhir sampai test di laboratorium kemudian masuk lemari arsip. Saya menyadari ini kala punya kesempatan mengintip isi perpustakaan IPB – Bogor. Semua permasalahan yang sedang kami hadapi seputar gula aren bisa dipelajari secara lengkap disini. Mulai dari tentang pohon aren, mempersiapkan proses pengolahan yang benar, mempetahankan kualitas sampai cara menembus pasar tersedia dalam perpustakaan ini. Tapi mengapa industri gula aren masih saja terseok-seok menaikan diri ke pentas gula nasional hingga saat ini?
Tampaknya sistem pendidikan kita disusun sedemikian rupa hingga yang dominan cuma berpikir bukan bertindak. Jika sebuah gagasan disampaikan maka semua dianggap selesai. 1 + 1 sampai diujung dunia hasilnya tetap dua. Kalau mau sepuluh atau dua puluh dipersilahkan mencari di luar. Akibatnya institusi pendidikan membuat pagar antara kalangan cendikia dengan pelaku bisnis tampak seperti Tom and Jerry. Dua makhluk dengan dunia dan persoalannya masing-masing. Nasib gula aren itu tampaknya diserahkan kepada perajin, pebisnis dan pasar. Tiga badan yang mewakili pelaku.
Memisahkan antara pemikir dan pelaku memang tampak sedikit pandir dan banyak tragis . Ilmuwan merasa tempatnya di kampus, pelaku di pasar. Ilmuwan sudah menyelesaikan tugas kalau kerja mereka terlihat hasilnya di laboratorium. Eksekusi di kehidupan nyata tugas para pelaku. Sementara pelaku merasa terlalu banyak teori hanya akan buang-buang waktu untuk segala tindakan mereka yang berharga.
Dan saya setuju dengan ahli pikir dunia Eward de Bono bahwa kecakapan bertindak sama pentingnya dengan kecakapan berpikir. Dan vice versa. Kecakapan berpikir dan bertindak ini digabungkan menjadi satu konsep yang disebut operasi. Operasi inilah yang harus diletakan bersejajar dengan keterampilan membaca, menulis dan matematika. Diajarkan kepada anak-anak sejak dini.
Saya membayangkan seorang entrepreneur yang pemikir. Seperti apa dia seharusnya? Mungkin bukan seorang Plato yang memproduksi saus sambel lalu membual soal hukum-hukum pasar. Dia adalah seseorang mempunyai kecakapan berpikir sebelum bertindak. Dia punya strategi dalam mencapai sasaran. Punya fleksibilitas tinggi hingga mampu membuat titik awal dari mana saja selama proses pencapaian target tersebut.
Apakah itu adalah Anda? Semoga!