Di tengah kelesuan darah oleh berita-berita politikĀ seperti gagal mengejar Nunun Nurbaeti yang ternyata tidak berada di Thailand tapi di Kamboja, tiba-tiba tadi pagi Jakarta di gegerkan oleh mati. Peti-peti tersebut dipacking menyerupai paket lalu dikirim ke para pentolan media massa dan perusahaan-perusahan marketing. Penggagas ide ‘nyeleneh’ tersebut Sumardy Ma, pakar marketing dari Buzz & Co, teman saya di Facebook dan sudah lama saya follow di Twitter guna mendapat ide-idenya tentang word of mouth marketing.
Seperti namanya, Buzz yang dalam bahasa Indonesia adalah dengung, merupakan salah satu strategi marketing. Tujuannya mengenalkan produk atau jasa ke publik dengan menggunakan konsumen itu sendiri. Tehniknya berlangsung dari mulut ke telinga terus ke mulut lagi š (word of mouth). Dengung tersebut diharapkan dibicarakan oleh sebanyak mungkin kalangan, berefek berantai, menyebar ke seluruh penjuru yang berbuntut pada terangkatnya brand dari produk atau perusahaan yang melakukannya (brand awareness).
Sumardy Ma atau sering dipanggil Mr. Sum oleh teman-temannya, nge-buzz kesadaran publik seantero publik digital lewat puluhanĀ peti mati. Peti-peti itu dipersonifikasikan sebagai undangan untuk sebuah acara peluncuran buku pada tanggal 9 Juni nanti. Jadi sebenarnya mulai hari ini kita launching buku ‘Rest in Peace Advertising Killed by Word Mouth Agency,” kata Sumardy kepada detikcom. Ditambahkwan bahwa Sumardy mengaku pengiriman peti mati ini selain dalam rangka meluncurkan buku jugaĀ meluncurkan perusahaan marketingnya. Pagi ini Sumardy dan tim-nya merancang pengiriman ke 100 orang.
Apa yang terjadi? Mr. Sum mendapat apa yang diinginkannya. Kehebohan! Pro dan kontara! Barusan para pakarĀ dari Marketing sampai Sosiolog sibuk membahas kelakuan Sumardi. Mereka bilang tidak patut. Marketing itu harus sensitif terhadap budaya. Peti mati itu sangat sakral bagi rakyat Indonesia, tidak pantas Sumardi bermain-main dengannya. Tadi saya menulis di wall facebooknya seperti ini : “Pak, dibiarkan sajalah kalau di laporkan ke polisi. Efeknya kan lebih dahsyat..” Yang dia jawab : ” Ya begitulah. There is always people like you and people don’t like you. We should respect and appreciate all of them. Thanks tuk support nya ya Bu”.
Yang kepikiran oleh saya dari kejadian ini adalah mereka yang kontra. Ahli Sisiologi, wartawan dan marketing. Perhatikan ketiga pihak ini. Secara profesi mereka adalah orang-orang yang terbiasa bermain-main dalam gagasan, sudut pandang dan kreativitas. Mereka terbiasa menggunakan kata-kata untuk membangun ruang realitas. Namun ketika ada realitas yang berasal dari kombinasi yang benar-benar baru (marketing vs mati mati adalah kombinasi yang tak biasa) sampai ke hadapan, ternyata mereka shock juga. Keluarlah komentar-komentar negatif yang berbau menyalahkan.
Apa yang bisa kita pelajari?
Kecenderungan kita untuk mempertahankan pola-pola lama dalam proses berpikir. Pikiran kita tidak begitu suka pada sesuatu yang berbeda dari pola lama. Itu mirip seperti hukum kelembaman benda dalam pelajaran fisika di sekolah dulu. Saat kita duduk di mobil dengan kecepatan tertentu lalu mobil tersebut tiba-tiba di rem, perubahan mendadak tersebut dapat menyebabkan tubuh kita terjungkal ke muka. Itu terjadi karena benda memiliki sifat mempertahankan diri terhadap keadaanĀ semula.
Itu semua persis seperti pikiran kita, bukan?
— Evi