Aceh saja macet!
Menurut saya, masa depan lalu lintas di Jakarta dan kota-kota satelitenya seperti Tangerang, Bogor dan Bekasi tidak terletak pada pembangunan jalan-jalan baru. Tidak akan menyelesaikan kekisruhan seberapapun tol dan jalan pintas di bangun. Proyek jalan tol dan semacamnya hanya akan memubazikan anggaran. Selesai seratus kilometer, muncul seratus ribu kendaraan bermotor baru. Apa gunanya, coba? Lebih baik anggaran tersebut dialokasikan pada pendidikan karakter. Sebab pokok masalah kita tidak terletak pada kurangnya jumlah jalan tapi muncul dari kurangnya attitude sebagai anggota masyarakat yang peduli pada kepentingan orang banyak.
Maka masa depan perlalulintasan kota-kota besar ini terletak di dunia maya. Seorang seperti Fauzi Bowo, Atut Chosiyah, Pak Wali kota Bekasi, Tangerang dan Bogor seharusnya melihat kemana gerakan arah budaya kita seiring kehadiran internet. Para pemimpin futuristik seharusnya sudah mencium gelagat bahwa banyak persoalan sosial bisa diselesaikan lewat internet. Coba saja. Hanya dengan sebuah piranti mungil, bisa ditenteng kemana-mana, manusia moderen tidak memerlukan wilayah geografis untuk berinteraksi. Tadi pagi saya makan soto di Pasar 88 Alam Sutera, ber Direct Message lewat Twitter dengan orang Malaysia yang tinggal di New York. Dia sedang flu dan bertanya apakah ginger bubuk sama khasiatnya kalau sekarang diseduh untuk meredakan flu tersebut. Saya katakan di coba saja. Kan gak susah. Kalau flunya reda berarti jahe bubuk tidak kehilangan khasiat sebagai penyembuh masuk angin. Maksud saya, para pemimpin itu harus melihat nilai tambah dasi sisi kepraktisan cara berkomunikasi saat ini.
Itu bukan berarti mereka kampanye agar ramai-ramai beli komputer, memasang jaringan internet lalu menyuruh orang kerja dari rumah. Kalau saja segampang itu semua orang sudah bekerja dari rumah sekarang. Tidak berhimpit-himpit setiap hari di jalan raya.
Yang saya maksud, mereka mulai membangun wacana. Mumpung rakyat Indonesia bernilai sepuluh di wacana, mengapa mereka tidak mulai dari sana, menyiapkan masyarakat agar keluar dari cara berpikir konvensional. Bahwa Indonesia gak kuno-kuno amat dalam teknologi yang menunjang komunikasi. Sudah punya jaringan infratruktur dunia maya yang lumayan dan jaringan seluler yang terus melebar. Lalu dijembatani oleh media komputer yang membuat bumi tetap siang selama 24 jam. Dengan memprovokasi pikiran, akan muncul kesadaran baru bahwa menjadi kommuter tidak saja menghabiskan waktu dan energi sia-sia, juga akan mengurangi beban bumi dari gas emisi.
Bumi terus bergerak. Kita tidak pernah turun di sungai yang sama. Interaksi dengan sesama melahirkan simbol-simbol baru yang akan disepakati bersama. Jadi memang tidak ada yang menetap di muka bumi selain perubahan itu sendiri.
Untuk dekade lalu solusi lalu lintas mungkin bisa diselesaikan dengan pembangunan jalan. Tapi itu ketika kota belum punya jalan-jalan yang memadai. Sekarang wilayah di kota-kota besar sudah terhubung oleh jalan-jalan bagus dan memadai. Rasanya tidak bijak jika terus menggusur lahan hijau, tempat tinggal penduduk, atau membangun jembatan bertingkat untuk kepentingan jalan raya. Masalah kemacetan di ibu kota itu sudah sedemikian akut. Penyelesaiannya tidak bisa lagi lewat cara-cara lama.Kita harus transformasi. Dan disitu saya melihat bahwa solusi kemacetan jalan-jalan di jakarta hanya bisa lewat dunia maya.
Caranya bagaimana? Itu mah gampang! Yang penting kemauan dulu lah…
— Evi