Dulu nenek saya suka berkata seperti ini : ” Patahkan pinggang sedikit! ” Ini adalah instruksi khusus setiap saya menyapu rumah atau halaman. Maksudnya saat mengayunkan sapu posisi tubuh jangan terlalu tegak. Itu terkesan kaku dan lahan yang disapu tidak bersih. Dengan membungkuk sedikit terlihat lebih lentur dan lahan yang sedang disapu pasti bersih.
Kalau Ibu lain lagi. Dia selalu menginginkan hasil gilingan cabe yang halus dan lembut. Dia mau menghabiskan waktu sampai satu jam hanya untuk membuat cabe giling tampak cantik dan beradab.Maka hasil gilingan saya yang berupa pecahan-pecahan cabe bulat disebut seperti kain gombal yang cocoknya cuma menambal celana robek.
Itu lah dua contoh dari nenek dan ibu yang berusaha menurunkan prinsip-prinsip wanita yang baik dari para moyang mereka kepada saya. Prinsip tersebut membenam bahwa wanita yang tidak mematahkan pinggang ketika menyapu dan tidak membuat cabe giling halus seperti pasta, tidak memenuhi syarat disebut sebagai wanita baik-baik. Tentu saja wanita seperti ini bukan idaman dari calon mertua maupun calon suami.
Tapi dari kecil tampaknya saya memiliki bakat sebagai sebagai perawan tua. Saya tidak melihat relevansi antara pinggang dan kebersihan lantai atau halaman. Sepanjang sisir sapu menyentuh permukaan tanah atau lantai, tak masalah bagaimanapun gaya yang dipakai sampah-sampah akan tersingkir dari tempatnya. Apalagi sapu-sapu jaman baheula di Minangkabau bertangkai panjang. Belum lagi tubuh saya yang semeter belum sampai, tanpa membungkukpun kepala sudah dekat ke lantai.
Mengenai bentuk gilingan cabe, saya pikir tak ada koneksi langsung pada kelezatan rasa dari ikan goreng balado. Bahwa hasil gilingan saya yang kasar dan menuai sebutan seperti gombal penambal celana, out of logic, tetap akan saya bawa sampai ke rumah mertua.
Dua contoh ini cuma soal remeh temeh. Dalam hidup yang sesungguhnya saya menemukan banyak kasus serupa yang memaksa saya keluar dari gerbong. Saya merasa tidak menjadi bagian dari sebuah kelompok. Entah karena cara berpikir mereka, cara mereka menjalani hidup atau prinsip-prinsip yang mereka anut. Hanya saja banyak bagian dari warisan cara berpikir kuno tersebut masuk ke dalam tanpa disadari dan menjadi bagian dari diri saya saat ini. Kadang menimbulkan rasa tidak enak dan terbelah. Contohnya Nenek dan Ibu saya menghendaki kami semua menghormati semua orang yang lebih tua. Karena ini juga diajarkan di sekolah, akhirnya saya terbentuk melalui nilai-nilai ini. Sementara ada bagian dari diri saya yang hanya akan menghormati orang tua yang memang pantas di hormati. Nah ketika kedua prinsip ini bertemu, kadang saya mengambil jalan tengah, jalan paling aman : munafik!
Mungkin ada yang mengatakan bahwa hidup secara munafik itu tidak baik. Saya setuju. Tapi percayalah untuk kadar tertentu munafik diperlukan.